Surga yang Tersembunyi di Lampung
Monday, December 24, 2018
Add Comment
Mentari masih
mengintip malu pagi itu, hingga jarum jam menunjuk ke angka sepuluh, ia tetap
bersembunyi di bawah kabut. Hari itu, Minggu, 23 Desember 2018, saat mayoritas
penghuni Kota Pendidikan memilih pulang ke kampung halaman, tapi tidak dengan
Aku. Masih ada beberapa kewajiban dan projek yang harus aku tuntaskan. Sejenak ku
lupakan keinginanku pulang menebus segala kerinduan.
Aku melangkah
dengan pasti menuju sekret beralaskan sandal jepit hijauku, dengan tatapan optimisme dan
guratan senyum keyakinan memandang langit yang tak menampakkan semburat biru. Membelah
jalanan yang lengang dari bisingnya sepeda motor dan warna-warni seragam anak
sekolah.
Ku lihat
hanya ada seorang penjual somay di Depan Gerbang Kampusku, pertanda semua orang
memang membutuhkan liburan di hari itu. Ku tatap lekat-lekat gedung kampusku
yang biasanya berisik karena mahasiswa kegerahan meski berada di gedung mewah
bertingkat. Tapi kini sepi tak berpenghuni. Sesaat kemudian langkahku pelan karena sadar gedung Salahudin
Ayyubi sudah di depan mata, maksudku gedung UKM, atau biasa ku sebut dengan
sekret.
Aku mengira
sekret akan sepi karena hari libur, tapi ternyata ada beberapa adikku yang tengah menyiapkan
agenda camping yang sudah direncanakan beberapa waktu lalu. Sebetulnya aku
juga andil dalam agenda mengasyikkan ini, tapi ada beberapa draf laporan yang
melambai-lambai didepanku untuk dikerjakan.
Agak
sangsi juga dengan keputusan mereka untuk tetap berangkat camping di hari
kesepakatan itu. Mengingat semalam baru saja terjadi musibah yang menimpa Kalianda dan beberapa pesisir di Daerah Lampung. Padahal sebelum itu, mereka
sudah survei tempat camping yang ciamik dan punya view yang bagus untuk melihat
sunrise dan senja. Benar, itu adalah dua peristiwa yang sangat aku suka.
Tapi mendengar
musibah yang melanda kawasan penghasil senja dan fajar nan indah itu,
setidaknya aku berpikir barangkali agenda itu akan ditunda sehingga aku dapat
mengikutinya setelah menyelesaikan tugasku. Tapi nyatanya tidak, semangat
mereka yang berapi-api takkan gentar untuk tetap berangkat camping di hari itu.
Beberapa alumni juga sudah menyarankan agar camping ditunda, tapi mereka malah
sok kewanen (red: Kayak paling berani) berangkat ke tempat camping yang sudah
direncanakan.
Tapi jadwal
malah jadi berantakan karena beberapa anak magang tidak mendapat izin dari
keluarganya kalau ngecamp di daerah yang sedang rawan. Bermodalkan semangat
yang berapi-api itu akhirnya diputuskan untuk membelokkan haluan, yakni
mengganti tempat camping di daerah yang jauh dari potensi gempa maupun tsunami.
Setelah berdiskusi
panjang lebar dan membuka google untuk menemukan destinasi wisata yang tepat
dijadikan tujuan camping, disepakatilah Air Terjun Ciupang yang terletak di
ujung perbukitan Daerah Pesawaran. Merekapun menyebar info pindah haluan
camping dan menyepakati bakda zuhur langsung on the way tempat tujuan, supaya
sampai sana tidak kemalaman.
Sesaat kemudian
aku sangat tergiur mendengar keputusan itu. Meskipun keinginanku yang sebenarnya
adalah melihat senja emas di bibir pantai sambil menikmati angin semribit (baca: Sepoi-sepoi). Tak ayal
kawan-kawan juga turut membujukku untuk ikut dalam perjalanan, karena pasti
sangat mengasyikkan. Dari situlah aku mulai sadar bahwa selain bangun malam
mengerjakan salat tahajud, menolak ajakan kawan untuk pergi melihat indahnya
alam ciptaan Tuhan juga berat. Dengan lunglai dan perasaan hati yang senang aku
akhirnya ikut camping dan menunda pekerjaan muliaku-menggarap laporan haha.
Mengingat belum
melakukan survei sebelumnya, perjalanan touring ini seperti meraba jalan. Apalagi
ada beberapa pengendara perempuan, sehingga naik motornya tidak bisa terlalu
kencang. Kami berangkat menuju Kota Bandar Lampung melalui jalur dalam, yaitu
Trikora dan tembus di Pasar Natar dan baru belok di Bandar Lampung.
Ternyata rute
yang kami pilih kejauhan, karena sebetulnya pesawaran lebih dikat diakses
melalui Tegineneng yang lebih dekat dengan Metro. Alhasil perjalanan berangkat
menghabiskan waktu sekitar 4 jam lebih. Sehingga adzan ashar berkumandang kami
belum sampai di tempat tujuan. Oleh karenanya, berhentilah kami disebuah masjid
hijau di daerah Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran.
Saat itu
perutku sudah meronta ingin diisi karena sebelum berangkat tadi aku tak sempat
makan siang karena sudah diburu-buru. Setelah salat aku meminta izin kepada
rombongan untuk makan bekalku dahulu haha. Setelah menandaskan bekalku kami
langsung bergegas menuju Air Terjun Ciupang, supaya tidak kemalaman nantinya.
Estimasi perjalanan
akan sampai satu jam kemudian. Kami mengencangkan laju motor mengingat hari
semakin gelap ditambah mendung juga bergelayut mesra menghantui perjalanan ini.
Medan perjalanan yang disuguhi bukit barisan nyatanya juga menyimpan degup
kencang, karena bentuknya yang berkelo dan meliuk-liuk. Aku yang saat itu
sedang dalam posisi menyetir, beberapa kali memcau adrenalin karena menghapi
turunan yang terjal dan tanjakan yang tinggi.
Dalam hati
aku terus berucap “Sampai kapan kami harus melewati jalan ekstrem ini, aku ingin
segera sampai.”
Meskipun sebenarnya
aku tetap menikmati pemandangan kiri dan kanan yang berjajar bukan barisan. Semakin
menanjak kami semakin dekat dengan daerah perbukitan, jalanan yang kami lintasi
mulai sempit dengan pohon yang beraneka ragam.
Durian banyak
sekali bergelantungan di pinggir jalan, juga kios-kios tak absen memajang
jualan buah berduri ini. Aromanya yang membuat kami makin menelan air ludah
dari atas motor melalui udara yang dihembuskan dari mobil pick up yang memuat
durian. Barangkali inilah yang disebut surga durian. sebelumnya bagiku durian adalah buah istimewa yang belum tentu dapat kujumpai pohonnya. Tapi dalam perjalanan ini aku menyaksikan durian bergelantungan di atas dahan-dahan tinggi pohonnya
Ada hal yang perlu kalian ketahui para nekat traveller alam perjalanan
ku rasa kita tidak boleh sepenuhnya percaya pada google maps, ya kami salah
belokan menuruti mesin penyedia peta online ini. Beruntung ada beberapa warga
yang sepertinya membaca maksud kami untuk pergi ke Air terjuan Ciupang.
“Mbak kalian
mau ke Arter Ciupang ya? Wah salah jalan, aturan yang belok kanan sana,” Kata
dua orang pemuda menghentikan laju motor kami.
“Wah salah
ya mas, balik lagi berarti ya mas,”
“Iya mbak,
balik di belokan tadi aja” Katanya lagi.
Dan ngeeeeeeng
kami pun sampai di belokan menuju air terjun. Jalannya sempit sekali untuk
dilintasi motor. Susana pedesaan masih asri dan kesan pertama sesampai di Curug
Ciupang ini aku berpikir belum ada pengelolaan terhadap potensi wisata yang cukup besar in
Hari sudah
menunjukkan pukul 5 sore lebih, sudut air terjun sudah mulai gelap dengan
pepohonan rindang di sekelilingnya. Seketika aku ragu, bahwa inikah yang akan
kita tuju. Salah atau tidak. Karena aku hanya menyaksikan air mengalir di
bebatuan saja, bukan air yang terjun dari dataran tinggi.
Menengok kebingungan
kami bersebelas yang masih berada di atas motor manyaksikan jalan buntu tak
dapat dilintasi. Datanglah seorang bapak-bapak bersarung menyapa kami. Untuk kemudian
aku akan menyebutnya bapak Taufik untuk memudahkan cerita ini. Kemudian bapak Taufik
mengobrol dengan kawan-kawanku yang laki-laki. Sementara kami yang perempuan
duduk dipinggir motor mengeluh kaki kram di sana sini akibat perjalanan
melelahkan ini.
Dari diskusi
singkat tadi, ternyata memang tak ada jalan lagi untuk motor menuju Air Terjun. Kami
harus menitipkan motor diperumahan warga. Sebelum itu si Bapak dengan logat
sundanya itu menanyakan keperluan kami datang ke Air Terjun. Mengingat hari
sudah menjelang petang. Kamipun menjelaskan bahwa tujuan kami adalah camping. Sehingga
datang petang pun bukan masalah.
Bapak Taufik
meyarankan kami untuk melihat lokasi terlebih dahulu, baru setelah itu
memutuskan untuk lanjut camping atau tidak. Keraguanku semakin bertambah,
apalagi suasana di sini lumayan seram, dengan suara aliran air yang keras
sekali sampai-sampai kalau kami berbicara harus menambah volume.
“Belum
pernah ada memang yang menginap di arter, palingan kalau ada yang datang ya Cuma
main nggak pernah ada yang camping, tapi kalau kalian yakin yaa nggak papa,
nanti motornya tarok sini aja,” Tutur bapak Taufik.
Dengan yakin
kami langsung mengusungi barang dan perlengakapan camping menuju air terjun. Ternyata
di sana ada beberapa saung yang bisa dipakai untuk berteduh dan dua kamar
mandi. Tentu ini fasilitas yang cukup bagi kami.
Menurut keterangan bapak
Taufik sebenarnya saung dan kamar mandi itu belum lama dibangun. “Itu bantuan
pemerintah, dulunya mah belum ada tangga juga ke arter itu,” katanya.
Menurutku wisata
itu memang belum diberdayakan dengan baik. Padahal potensinya besar sekali. Tentu
selain dapat dimanfaatkan melalui Badan Usaha Milik Desa, wisata ini juga dapat
mendongkrak perekonomian masyarakat jika menjadi destinasi wisata.
Tapi namanyanya
saja surga yang tersembunyi, pasti ketika sudah menjadi destinasi sudah tak
menjadi surga lagi. Sebab masyarakat kita sangat sulit diedukasi dalam merawat
lingkungan. Melakukan buang sampah pada tempatnya saja merupakan hal yang
berat, seberat membajak sawah satu hektar.
Berhenti memikirkan
itu, karena aku harus bergegas menyiapkan tempat berteduh untuk malam nanti. Segera
saja Momo membentangkan beberapa banner yang sudah kami bawa di dua saung, untuk tempat
istirahat perempuan dan laki-laki. Sementara yang lain bersiap salat dan
beberapa ada yang mencari kayu untuk menyiapkan bara api pengusir nyamuk.
Hari sudah
mulai gelap, kami masih disibukkan dengan kegiatan membuat api yang agak sulit
karena kayunya basah. Semalam baru saja turun hujan dan seharian matahari tak
memunculkan sinarnya. Sedangkan Momo, Ega dan Ooy sibuk memsang tenda di depan
saung. Percuma membawa tenda kalau tidak dipakai katanya.
Kami masih berkecamuk
dengan asap yang semakin tebal dari tungku buatan ini. Tidak ada tanda-tanda
api akan jadi, karena kayu yang basah. Tiba-tiba ada sorot senter dari arah
pemukiman. Tiga laki-laki menghampiri kamu di kegelapan.
Singkat cerita,
kita tidak diperkenankan menginap di dekap Air Terjun karena dikhawatirkan ada
sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Baik itu karena binatang buat atau
karena makhluk lain yang tak kasap mata. Kami memutuskan untuk menghormati
himbauan penduduk. Karena kami datang dengan baik-baik, tadak sepatutnya
memaksakan kehendak.
Malam itu
kami tidak jadi camping, justru menginap di rumah Bapak Taufik. Bekal yang kami
bawa untuk dimasak saat camping. Kami masak di kdiaman Bapak Taufik. Bu Taufik
juga begitu ramah kepada kami, barangkali karena sudah terbiasa dengan
wisatawan lokal yang kerap mampir saat berkunjung di Air Terjun Ciupang.
Udara dataran
tinggi begitu dingin, angin yang dihasilkan bukan lagi yang semribit tapi sudah
semrobot haha. Anak perempuan tidur di dalam rumah Pak Taufik, ada yang diruang
tamu dan Sebagian di Kamar anaknya yang sedang liburan tempat neneknya. Sementara
anak laki-laki tidur di luar. Mengkhawatirkan memang, tapi mereka bilang kuat
bertahan semalaman di luar.
Esok paginya
baru kami mengeksplore Air Terjun Ciupang. Sungguh surga yang tersembunyi. Deras
terjunan airnya seolah membisikkan kami betapa alam menyajikan kesegaran yang
hakiki.
Bagian Bawah |
Sebelum mandi di bawah dinginnya air terjun, kami diperlihatkan
bapak-bapak yang sedang memanen air nira. Kemudian salah satu kawanku meminta
untuk dicicip. Aku juga dikasih, itulah pertama kalinya aku merasaakan nira
langsung dari pohonnya. Rasanya manis tapi ada sangit-sangitnya haha.
Air Nira Asli |
Setelah itu kami sungguh tidak sabar ingin segera jebur ke dalam air. Sebelum itu tentu saja kami tak lupa mengabadikan momen lewat kamera hape masing-masing. Inilah penampakan surga tersembunyi itu. Selamat menyaksikan warganet.
Air Terjun Bagian Bawah |
Tampak Tangga menuju air terjun utama di Belakangku
|
Air terjun Utama, Tampak di Belakangku Muli sedang merenung, haha |
Saatnya Mandi di Air Terjun |
Mereka betul-betul menikmati |
Itulah tadi beberapa kesan singkat yang bisa ku rangkum dari surga tersembunyi yang baru ku kunjungi. masih ada beberapa kisah yang belum ku bagi, tapi rentetan cerita ini sudah cukup panjang. baiknya aku cukupkan sekian dulu. Nanti bisa di sambung lain waktu.
Salam Lestari dari Ririn Erviana. Rawatlah alam kita dengan baik supaya ank-cucu kita dapat pula menikmati keindahannya.
0 Response to "Surga yang Tersembunyi di Lampung"
Post a Comment