Bertolak Ke Kota Dingin di Timur Jawa
Pada sebuah malam di
musim panas, atau orang Indonesia sering menyebutnya dengan musim kemarau.
Karena negara yang terdiri atas ribuan pulau ini,` beriklim tropis, sehingga
hanya memiliki dua musim. Panas dan kemarau.
Musim dingin hanya tiba ketika
Rinjani sedang rindu pada dia yang sedang menyelesaikan studinya di Kota Hujan.
Malam ini adalah malam senin, Rinjani memutuskan mengakhiri harinya untuk
memprasastikan ingatan tentang lelaki pemilik brewok tipis itu. Sebelum semua
berubah dan hilang ditelan masa, Rinjani merasa kisah ini terlalu manis untuk
dibiarkan hilang begitu saja.
Banyak hal yang
belum Rinjani tuliskan tentang lelaki itu, semuanya mulai ia ingat lagi atau
sesekali membayangkan ‘Bagaimana ketika bertemu nanti?’. Bagaimana seseorang
yang bahkan batang hidungnya belum pernah ia lihat secara nyata, terus
mengelabui hatinya, menghegemoni jiwanya untuk terus tertuju padanya,
mendominasi pikirannya diwaktu-waktu tertentu.
‘Akankah tetap sama rasanya
ketika sudah ketemu nanti?’, ‘Semakin inginkah?’ Atau justru akan luruh sedikit
demi sedikit rasanya? Ahh dasar ambigu ini seru sekali.
Bagaimana seandainya
jika Rinjani bersikeras menemui lelaki itu hanya karena rasa penasaran, ia tengah menyeberangi
lautan Krakatau saat itu, menghabiskan waktu penyeberangan dengan memotret
setiap sudut pelabuhan untuk mengingat akan hal kesukaannya pada dunia
fotografi, dan segala pikiran yang terus didominasi oleh dia yang namanya hanya
bisa berani ia sebut pada malam-malam rahasia.
'Sudahkah dia menyelesaikan
persoalan melupakan dan tetek bengek masa lalunya?'
Untuk
Sebuah Perjalanan yang Terus Berisi Dirimu
Hari-hari itu bisa
saja disebut dengan musim durian runtuh, karena banyak sekali kejutannya. Atas
pengorbanan lulus terlambat dari studinya, Rinjani akan kembali berlayar
menyeberangi Selat Sunda untuk kesekian kali. Pada 2017 lalu, Selat Sunda
menjadi bagian dari perjalanan persahabatan yang juga menyumbang kenangan. Juga kejutan atas perkenalan manis dengan seseorang yang berhasil meruntuhkan pertahanannya.
Memandang laut saat
langit sedang biru-birunya bisa jadi pelampiasan mata yang tak sanggup bertatap
padanya. Tapi yang paling ia suka sore itu, ialah senja yang begitu menawan. Mentari
membakar langit dengan sempurna. Hampir saja Rinjani ingin mencurinya, supaya
dapat dinikmati bersama ‘dia’ nya.
“Kemana?” Tiba-tiba pesan itu muncul setelah insiden
blokir-memblokir, untuk mereply sebuah postingan Foto Rinjani yang menghadap
laut di Dek Kapal.
“Ke Malang
InsyaAllah Mas” Jawab Rinjani tanpa memperlihatkan betapa inginnya ia
membincangkan hal lain, tentang kepastian, tentang keinginan bertemu, atau
tentang cerita perjalanan, tapi itu memang sebuah kemustahilan.
Rinjani mafhum bahwa
hidup adalah tentang perjalanan dan kehilangan atas keputusan untuk menerima
pertemuan. Tapi yang tak pernah ia pahami adalah rasa kehilangan yang ia
rasakan bukan karena pertemuan atau kepemilikian. Andai saja bisa, ia ingin
mengutuk rasa itu, dirinya terus mencoba meredefinisi arti pertemuan dan
kepemilikan. Apakah memang ada pertemuan dan kepemilikan yang artifisial.
Ia menikmati perjalanan
ini sebagai perayaan kehilangan ilusi, menuju Kota Paling dingin di Timur Jawa.
Ia habiskan malam-malam itu dengan mendekap sepi, meredam dingin AC bus dengan
hangatnya retina karena terpapar warna-warni lampu jalanan dan gedung pencakar
langit ibukota. Matanya masih jeli membaca plang hijau arah mana saja bus
rombongan kontingen yang ia tumpangi menuju. Adakah sebuah tulisan yang
mengarah kepada kota tempat lelaki itu berada?
“Mungkin saja beda
jalur.” Batin Rinjani setelah mengetikkan sebuah kota di google map.
Rinjani terus
bertanya pada benaknya sendiri apakah di sana dengan segala kesibukannya,
lelaki itu juga menyisakan sebagian ingatannya untuk memikirkan Rinjani. Karena
di sini, pada kesibukan yang tak mengenal waktu, Rinjani terus berpikir
tentangnya.
Mentari menyibakkan
ronanya dari ufuk timur, menyapa Rinjani lewat jendela bus yang lajunya terus
menjauhi tempat yang ingin sekali ia hampiri. Tidak berkurang barang
sedikitpun, rona jingga pada fajar ikut membantu senja yang kerap membuat
Rinjani lumpuh dari niatan melupakan. Mentari di tanah Jawa itu, semakin lama
semakin jingga, semakin terbakar, semakin indah, meninggi dan hilang di atas
dan mencapai titik kulminasi.
Akankah rasa itu
juga berkiblat pada senja dan fajar, semakin terbakar, semakin indah, sekejap
meninggi dan di hilang di atas cakrawala halusinasi. Kesibukan yang begitu
padat, tak pelak membuatnya terus memelihara kekhawatiran. Kalau saja ia
benar-benar akan terjerembab ke jurang nestapa untuk ke sekian kalinya.
Ia takut, kala akan
mengetuk lingkar merah instastory-nya, karena mungkin saja, jauh di
sana, hatinya terus bersandar menjauhi pelabuhan hati tempat rinjani berada. Ia
terus dihantui kalau saja, ia akan menyaksikan hari bahagia seseorang itu dengan perempuan yang ia pilih jauh di sana. Bahkan sebelum Rinjani mampu mencari
obat untuk mengingat tanpa rasa sakit.
-Bersambung
0 Response to "Bertolak Ke Kota Dingin di Timur Jawa"
Post a Comment