Merayakan Hari-Hari Dimaklumi Sebagai Pengangguran
Hari-hari
sekarang, aku merasa sebagian beban dan permasalahan hidup berkurang banyak.
Tepatnya
seminggu yang lalu aku berhasil menyelesaikan amanah yang belakangan sering
ditagih orang-orang rumah.
“Belum
selesai bimbingannya?”
“Jadi
kapan sidangnya?”
Pertanyaan-pertanyaan
yang menurutku sangat mengganggu aku ketika akan melakukan hal-hal yang ku
suka. Mau main masih ingat punya beban skripsi, mau nulis masih galau tulisan
skripsi belum selesai, mau yang-yangan, ehh kalau ini mah karena belum
punya, malih!!!
Sebetulnya
ada beberapa miskonsepsi mengenai sebuah pencapaian studi dalam society
kita hari ini. Masyarakat masih memandang bahwa pencapaian tertinggi seseorang
yang menempuh pendidikan adalah gelar. Padahal sejatinya sekolah itu adalah
jalan untuk menemukan jaringan, mengenal komunitas sesuai passion, dan
bagaimana kita mengambil ilmu dari semuanya.
Karena
sebenarnya belajar di dalam kelas, utamanya kelas perkuliahan itu sangat
membosankan. Persentasi, bertanya, diskusi yang kadang penuh pencitraan demi
nilai, ujian dan nilai tetap tergantung seberapa besar perjuangan mencari
perhatian dosen. Hasshh
Maka
aku memiliki asumsi, bahwa bagian paling menyenangkan dari empat tahun kuliah
adalah kesempatan mengenal orang-orang baru. Melakukan percakapan yang
berkemajuan setiap semesternya, punya banyak jaringan, mengikuti agenda
nasional plus jalan-jalan. Which is, itu semualah yang menjadi
kenangan paling membekas dalam ingatan.
Seringkali,
kelulusan atau wisuda menjadi tolak ukur seseorang dalam masyarakat untuk
melakukan hal-hal yang pattern. Misalnya segera menikah untuk perempuan atau
segera memiliki pekerjaan tetap untuk laki-laki.
Maka inilah yang aku bilang miskonsepsi, masyarakat kita punya ukuran bahwa pasca sarjana setidaknya seseorang akan memiliki pekerjaan tetap, mereka punya anggapan bahwa sekolah itu klimaksnya adalah bekerja.
Padahal sekolah adalah proses pembelajaran, utamanya pengembangan potensi manusia secara jasmani dan rohani. Bagaimana seharusnya sikap dan akhlak yang menjadi tolak ukur pendidikan seseorang, bukan pencapaian pekerjaan atau seberapa besar gajinya.
Maka inilah yang aku bilang miskonsepsi, masyarakat kita punya ukuran bahwa pasca sarjana setidaknya seseorang akan memiliki pekerjaan tetap, mereka punya anggapan bahwa sekolah itu klimaksnya adalah bekerja.
Padahal sekolah adalah proses pembelajaran, utamanya pengembangan potensi manusia secara jasmani dan rohani. Bagaimana seharusnya sikap dan akhlak yang menjadi tolak ukur pendidikan seseorang, bukan pencapaian pekerjaan atau seberapa besar gajinya.
Apalagi
sekarang ini, boleh dibilang kita berada pada zaman transisi. Dimana industrialisasi
mulai luntur, orang-orang mulai tertarik bekerja di rumah, mendapatkan uang,
dan bisa mengatur kapan ia akan bekerja.
Sebut saja freelancer atau kasarnya adalah serabutan maya. Beberapa teman saya bahkan sudah punya penghasilan dari akun youtube-nya. Maka itulah yang dapat dikatakan aset digital.
Sebut saja freelancer atau kasarnya adalah serabutan maya. Beberapa teman saya bahkan sudah punya penghasilan dari akun youtube-nya. Maka itulah yang dapat dikatakan aset digital.
Nah masyarakat kita, belum sepenuhnya
sadar bahwa ada profesi baru yang orang tidak perlu punya ikatan kontrak tetapi
punya pendapatan. Tapi kelemahannya adalah yang namanya serabutan tentu tidak
dapat memastikan gaji. Tidak seperti petani yang dapat memprediksi kapan ia
panen, atau pegawai yang bersenang ketika tanggal muda karena akan gajian.
Entah
kenapa skripsi seolah menjadi sebuah beban yang harus segera ku selesaikan agar
bisa menikmati masa muda ini dengan maksimal. Aku percaya semua orang punya
balada skripsinya masing-masing, yang suatu hari bakal menjadi kenangan indah. Maka
semuak-muaknya aku dengan skripsi, aku terus menikmati proses.
Ada
rasa iri sebenarnya ketika meliihat kawan-kawan dekatku sudah bisa wisuda tahun
ini, sementara aku masih menunggu tahun depan. Tapi aku percaya ketika
kehilangan sesuatu, sebenarnya kita sedang dituntun pada jalan menemukan. Maka dengan
diberinya lulus lebih lama niscaya aku akan dituntun pada destinasi-destinasi
tidak terduga.
Aku punya rencana ingin segera
menyelesaikan skripsi agar bisa main dengan puas di masa-masa terakhir dimaklumi
sebagai pengangguran. Sebab rentang antara ujian skripsiku lumayan jauh dengan
waktu wisuda.
Kalau sudah wisuda keseringan main malah bisa jadi bumerang. Hadeh betapa cintanya aku dengan bermain hahahaa. Dan di saat sekarang inilah, rasanya aku punya timing yang pas untuk menyelesaikan semua hal dengan dirinya sendiri.
Kalau sudah wisuda keseringan main malah bisa jadi bumerang. Hadeh betapa cintanya aku dengan bermain hahahaa. Dan di saat sekarang inilah, rasanya aku punya timing yang pas untuk menyelesaikan semua hal dengan dirinya sendiri.
Pembaca
blogku yang budiman dan menyisakan sebagian waktu produktifnya untuk membaca
tulisan panjang ini. Percayalah tulisan ini memang kurang sistematis, aliyas
tidak jelas.
Tapi pesan yang ingin aku sampaikan adalah tidak perlu ikut mengglorifikasi kelulusan dengan pemenuhan tuntutan society menyoal pertanyaan “Kapan Menikah?”. Seberapapun usiamu, tak perlu menggunakan penggaris orang lain untuk mengukur kesiapanmu pada tahap itu. Malah bikin pusing aja. Hehe.
Tapi pesan yang ingin aku sampaikan adalah tidak perlu ikut mengglorifikasi kelulusan dengan pemenuhan tuntutan society menyoal pertanyaan “Kapan Menikah?”. Seberapapun usiamu, tak perlu menggunakan penggaris orang lain untuk mengukur kesiapanmu pada tahap itu. Malah bikin pusing aja. Hehe.
0 Response to "Merayakan Hari-Hari Dimaklumi Sebagai Pengangguran"
Post a Comment