Review Buku 'P u l a n g'
Sebuah buku yang sering ku dengar isinya dari rekan sejawatku, tentang kisah yang ditulis dengan rasa yang tidak setengah. Yang katanya seringkali ia baca ulang diwaktu-waktu senggang. Entah seindah apa diksi di dalamnya, aku belum juga menaruh penasaran apalagi berminat untuk membaca.
Hingga akhirnya, forum di Payungi University
yang rutin mengadakan diskusi membedah buku ini. Seperti biasa malam minggu
para jomlo, tidak pernah lebih indah dari sekadar meng-upgrade kualitas diri
mendengarkan diskusi. Karena meratapi nasib sebagai cacat tuna asmara sudah
terlalu lemah untuk dilestarikan.
Malam itu, seorang lelaki yang ku tebak usianya
tidak jauh berbeda dengan bapakku mengendarai sepeda dan berbelok di Pojok
Boekoe Cangkir, tempat biasa kami berdiskusi. Ia lantas menyalami aku dan Puji
dengan sangat ramah. Lama ku menebak bahwa beliau ini adalah Pak Taufik penulis
buku pulang yang akan dibedah malam itu.
Ku pikir ia terlalu muda untuk foto yang ku
lihat di poster bedah buku. Maklum aku belum pernah bertemu dengannya, pun
belum juga membaca bukunya. Tapi benar saja, ia adalah Pak Taufik. Dengan kaca
mata dan tas cokelatnya ia begitu ramah menanyai kami, membuka obrolan dengan
bahasan apapun.
Malam itu, diskusi kami lebih dari sekadar adu
argumentasi. Lebih dari itu kami bersama-sama menggunakan hati untuk menyelami
sebenar-benarnya tujuan hidup ini. Malam itu, di usia seperlima abadku, aku
menyadari bagaimana seharusnya hati ini difungsikan. Bagaimana perpektif orangtua tentang anaknya yang mencoba membaktikan diri untuk pulang, boleh jadi
tidak sepenuhnya senang.
Bagaimana orangtua tunggal punya batasan
mengeluh hingga banyak hal yang tak sempat dibincangkan bahkan sampai akhir
hayatnya. Hal-hal seperti itu, barangkali jarang terpikirkan oleh kita,
utamanya aku, yang juga seorang perantau sekaligus jarang pulang.
Dan untuk sebuah buku bersampul oranye ini,
perasaanku dicuri. Tak hanya itu, ia juga merenggut sebagian bulir bening ini dari
mataku. Kalau boleh ngomong kasar, ini keterlaluan banget sedihnya hasshhh.
Buku ini ditulis dengan diksi setengah cerpen setengah puisi, hingga di kumpulannya kemudian boleh disebut novel. Penulis tidak
pernah punya keinginan akan mengklaim jenis tulisan miliknya ini. Katanya terserah
orang-orang akan menyebutnya apa. Tapi yang jelas dalam buku ini ada ruh yang
menghidupkan seluruh kisahnya. Yang membangkitkan perasaan setiap pembacanya.
Tentang pergolakan batin keputusan meninggalkan
karier hanya untuk kata ‘Pulang’ merawat ibu atau yang ia sebut Ina. Premis yang
dibangun dengan sangat agamis, tapi asal tahu saja di dalamnya tak pernah
sekalipun tertulis istilah yang terlampau relijiyes. Bagiku ini keren. Sama kaya
kita nonton film horor tapi rasa takut timbul bukan dari setannya. Misalnya bagian
di bawah ini
“Di kota ini, orang selalu merasa kehabisan waktu, perjalanan berangkat dan pulang kerja tanpa ketemu matahari, cari uang buat membayar cicilan rumah yang jarang ia tempati, membeli kendaraan yang akan membuatnya terjebak dalam kemacetan, investasi untuk sebuah masa depan yang digambarkan para penjual premi tampak seseram rumah hantu. Lalu menua tanpa sempat berbagi atau menikmati. Adakah cara hidup yang lain?”
“Seorang hamba sebaiknya tidak ikut campur pada urusan yang sudah ada yang mengatur.”
Buku ini akan ku anggap sebagai hadiah dari
penulisnya karena aku dapatkan secara cuma-cuma. Menemaniku dalam keadaan
mriyang dua hari kemarin. Memberiku point of view yang berbeda tentang arti
sebuah pulang dan kebaktian terhadap orang tua.
Ada yang ku sebut romantisasi dalam buku ini,
seorang anak yang bersikeras memiliki cinta ibunya. Sementara ibunya juga harus
memikirkan rasa cemburu anak-anaknya yang lain.
“Ya, kalau Ina Mau. Sebenarnya bukan menemani
Ina melainkan untuk merebut harta peninggalan ayah yang kabarnya masih banyak.”
((Aku tidak bercanda. Kau Ina harta peninggalan yang ku mau))
Ada keegoisan dan cinta buta di sini, betapa ia
terlalu menginginkan ibunya bisa dimiliki seutuhnya. Terhadap sepasang kaki
yang selalu ia rindukan untuk dipijat, tempat seorang anak lelaki bingung akan
arah kiblatnya atau kaki ibunya yang boleh disebut surga.
“Tegak di depanmu, saat mengangkat tangan untuk bertakbir, sesungguhnya fatihahku berselang seling ragu. Kemana arah kiblatku nanti ketika sujud, pada Kabah atau telapak kakimu?”
Kalau diperkenankan untuk mengatakan, kelemahan
buku ini hanya satu. Kurang panjaaaaang!!!!!. Kok sedikit sekali ini
udah baper-baper malah tiba-tiba selesai aja. Tanggungjawab siapa ini air
mataku sudah bleleran? Nggak mau tahu harus ganti air mataku hehehee.
Terima Kasih Pak Taufik untuk sebuah kesempatan menikmati ‘Pulang’ meski aku
belum bisa pulang.
Judul Buku : Pulang
Penulis :
Taufik Rinaldi
Penerbit :
DIVA Press
Halaman :
144
Pereview :
Ririn Erviana
��
ReplyDelete