Suara Perempuan di Rapat Sekolah
Siang ini, saat aku sedang menyimak Ngaji Keadilan Gender via wasap. Tiba-tiba data selularku mati. Sebuah dering telpon yang tidak pernah asing mendarat di layar kaca. Tidak menunggu lama jemariku langsung mengusap ke kanan dan menyambutnya dengan "Hallo mamak, assalamu'alaikum"
Terdengar suara renyah dari seberang sana. Seperti biasa kami mengobrol ringan tentang keseharian dan progres kehidupan masing-masing selama seminggu terakhir.
Siang ini, cuaca cukup panas untuk mengiringi diskusi serius yang biasa kami lakukan secara LDR. Mamak mengaku sedang kesal setelah menghadiri rapat menjelang kelulusan dan perayaan perpisahan di sekolah adik saya.
Konon ditafsirkan perhelatan perpisahan itu akan menghabiskan dana sekitar 35 juta, dengan rincian sewa panggung, tarub, kursi, orgen tunggal, MC, karangan bunga, konsumsi dan lain-lain. Cukup besar saya kira untuk sebuah perpisahan anak SMA di desa.
Ia bercerita bahwa telah membuat sedikit keonaran karena ada beberapa hal yang kurang cocok baginya dalam rapat itu. Pada pembahasan dana perpisahan, mamak menginginkan transparansi, hendak dialokasikan untuk apa saja sejumlah dana 35 juta itu. Mamak jelas mengeluh ketika setiap wali murid harus sokongan sebesar Rp.360.000 bersama 99 wali murid lainnya.
Sebagai perempuan mamak mengkalkulasikan nominal itu terlampau berlebihan. Bukan karena tidak mampu membayarnya, tapi mamak kerap memikirkan skala prioritas pada acara yang terhitung sunnah itu. Ada beberapa hal yang sekiranya menurut mamak tidak terlalu penting untuk diadakan. Misalnya MC, tidak perlu membayar orang cukup siswa-siswi sekolah itu saja dilatih.
Seperti halnya karangan bunga berisi ucapan. Di desa karangan bunga seperti itu tidaklah memiliki banyak manfaat. Paling tidak jika ada hal-hal kurang penting dipangkas, iuran wali murid bisa berkurang.
Saya menyadari sebagai perempuan apa yang dilakukan mamak tentu bukan hal yang salah. Ia berhak mengajukan usul seperti itu, sebab ia adalah pengelola keuangan rumah tangga yang bertanggung jawab mengatur dan mendistribusikan uang untuk keperluan keluarganya sehingga memiliki nilai guna.
Tapi sayangnya setelah mengajukan pendapat itu, mamak hanya memperoleh 43 wali murid yang mendukung gagasannya untuk merevisi keperluan apa saja yang penting dalam acara perpisahan. Sisanya, sejumlah 56 wali murid memilih patuh dan makmum saja asal semua agenda beres dan anak menyelesaikan studi menengahnya tanpa halang rintang.
Dalam hati saya bangga memiliki orangtua utamanya ibu yang begitu berani, demokratis dan selalu menyuarakan suara-suara perempuan. Saya yakin sebetulnya banyak orang tua, utamanya ibu-ibu dalam rapat tersebut mengeluhkan iuran perpisahan itu. Tapi yang memiliki keberanian untuk berbicara di depan tentu tidak banyak, dan salah satunya adalah mamak saya.
Paling tidak mamak saya tidak diam terhadap kebijakan yang disuguhkan. Sebagai lulusan sarjana Universitas Kehidupan, rasanya saya ingin menyematkan gelar doktor kepada mamak saya atas keberanian, sistematika pemikiran dan kepiawaiannya mengelola perencanaan ekonomi keluarga.
Mamak bukannya kolot, tidak ingin ada acara perpisahan. Tapi ia hanya ingin ada negosiasi dan pertimbangan yang melibatkan semua wali murid mengenai acara yang menjadi hajat bersama itu.
Mamak bilang, ia cukup sebal dengan guru-guru dan kepala sekolah yang memimpin rapat itu. Menurutnya mereka terlalu memojokkan mamak karena menuntut keterbukaan alokasi dana secara terperinci. Guru tersebut terus bertanya mamak saya ini wali murid dari siapa. Tentu mamak tidak ingin anaknya nanti dibully karena mamaknya banyak protes. Ia terus berbelit dan tidak langsung mengatakan bahwa ia adalah wali murid adik saya.
"Sebel banget mamak, masak gara-gara itu mamak dikira penyusup yang sengaja bikin onar." Katanya.
Padahal sebelum itu, mamak juga turut menyumbang pendapat mengenai masalah pengadaan komputer untuk keperluan UNBK di sekolah adik saya ini.
Jadi ceritanya, sekolah ini baru saja mendapat musibah, kebobolan maling. Sehingga fasilitas yang akan menunjang UNBK tahun ini raib di bawa maling. Tentu itu masalah yang serius. Pihak sekolah kemudian menyarankan kepada wali murid untuk bisa mengusahakan laptop supaya ujian tetap berjalan. Entah itu membeli, menyewa atau meminjam.
Maka hal itulah yang tadinya membuat mamak menginstruksikan saya agar segera pulang. Supaya adik saya bisa meminjam laptop untuk ujian. Tapi masalah tidak sesederhana itu, tentu tidak semua wali murid mampu mengadakan fasilitas yang terbilang mahal itu dalam waktu singkat. Ada wali murid yang mau dipaksa seperti apapun kalau tidak punya kekuatan untuk mengadakan laptop ya tetap tidak bisa. Akhirnya diadakan rapat lagi.
Dalam rapat itu, mamak mengusulkan bahwa semua wali murid sebaiknya melakukan swadaya untuk mengusahakan sewa laptop. Maka ia memohon kesediaan para guru untuk berkenan meminjamkan laptopnya selama proses ujian berlangsung. Dan biaya akses internet nanti disokong semua wali murid. Akhirnya disepakati bahwa setiap wali murid mengeluarkan dana sebesar Rp.200.000 demi kelancaran UNBK tersebut.
Sementara itu, mamak saya juga menyarankan bagi wali murid yang sudah terlanjur mengusahakan laptop untuk anaknya tetap diapresiasi. Dengan tidak perlu membayar sokongan Rp.200.000. Sehingga kebijakan inilah yang membuat saya tidak jadi buru-buru pulang karena masalah sudah teratasi.
Mamak bercerita, ia sampai berdiri dan menghadap kepada seluruh wali murid yang hadir saat mengutarakan pendapatnya itu.
Saya jadi membayangkan, kalau saja mamak saya ini bisa menyempurnakan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Tentu ia akan jadi perempuan tercerdas satu universitas. Atas keberanian, solusi yang ia tawarkan pada setiap permasalahan yang kerap terjadi di keluarga kami, juga pemikiran yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Di akhir obrolan kami, mamak mengatakan bahwa anaknya akan sangat rugi jika hanya bisa seperti beliau. Apalagi sampai di bawahnya.
Kalau boleh berlebihan, saya ingin mengatakan bahwa mamak saya adalah feminis sejati (paling tidak versi saya sendiri) yang memperjuangkan suara-suara perempuan. Mereka kerap bungkam hanya karena minimnya keberanian.
*Kali lain, aku akan gantian bercerita tentang bapakku yang patut diberi gelar sebagai aktivis ecofeminisme. Atas gerakannya menanam apa saja di pekarangan rumah.
Terdengar suara renyah dari seberang sana. Seperti biasa kami mengobrol ringan tentang keseharian dan progres kehidupan masing-masing selama seminggu terakhir.
Siang ini, cuaca cukup panas untuk mengiringi diskusi serius yang biasa kami lakukan secara LDR. Mamak mengaku sedang kesal setelah menghadiri rapat menjelang kelulusan dan perayaan perpisahan di sekolah adik saya.
Konon ditafsirkan perhelatan perpisahan itu akan menghabiskan dana sekitar 35 juta, dengan rincian sewa panggung, tarub, kursi, orgen tunggal, MC, karangan bunga, konsumsi dan lain-lain. Cukup besar saya kira untuk sebuah perpisahan anak SMA di desa.
Ia bercerita bahwa telah membuat sedikit keonaran karena ada beberapa hal yang kurang cocok baginya dalam rapat itu. Pada pembahasan dana perpisahan, mamak menginginkan transparansi, hendak dialokasikan untuk apa saja sejumlah dana 35 juta itu. Mamak jelas mengeluh ketika setiap wali murid harus sokongan sebesar Rp.360.000 bersama 99 wali murid lainnya.
Sebagai perempuan mamak mengkalkulasikan nominal itu terlampau berlebihan. Bukan karena tidak mampu membayarnya, tapi mamak kerap memikirkan skala prioritas pada acara yang terhitung sunnah itu. Ada beberapa hal yang sekiranya menurut mamak tidak terlalu penting untuk diadakan. Misalnya MC, tidak perlu membayar orang cukup siswa-siswi sekolah itu saja dilatih.
Seperti halnya karangan bunga berisi ucapan. Di desa karangan bunga seperti itu tidaklah memiliki banyak manfaat. Paling tidak jika ada hal-hal kurang penting dipangkas, iuran wali murid bisa berkurang.
Saya menyadari sebagai perempuan apa yang dilakukan mamak tentu bukan hal yang salah. Ia berhak mengajukan usul seperti itu, sebab ia adalah pengelola keuangan rumah tangga yang bertanggung jawab mengatur dan mendistribusikan uang untuk keperluan keluarganya sehingga memiliki nilai guna.
Tapi sayangnya setelah mengajukan pendapat itu, mamak hanya memperoleh 43 wali murid yang mendukung gagasannya untuk merevisi keperluan apa saja yang penting dalam acara perpisahan. Sisanya, sejumlah 56 wali murid memilih patuh dan makmum saja asal semua agenda beres dan anak menyelesaikan studi menengahnya tanpa halang rintang.
Dalam hati saya bangga memiliki orangtua utamanya ibu yang begitu berani, demokratis dan selalu menyuarakan suara-suara perempuan. Saya yakin sebetulnya banyak orang tua, utamanya ibu-ibu dalam rapat tersebut mengeluhkan iuran perpisahan itu. Tapi yang memiliki keberanian untuk berbicara di depan tentu tidak banyak, dan salah satunya adalah mamak saya.
Paling tidak mamak saya tidak diam terhadap kebijakan yang disuguhkan. Sebagai lulusan sarjana Universitas Kehidupan, rasanya saya ingin menyematkan gelar doktor kepada mamak saya atas keberanian, sistematika pemikiran dan kepiawaiannya mengelola perencanaan ekonomi keluarga.
Mamak bukannya kolot, tidak ingin ada acara perpisahan. Tapi ia hanya ingin ada negosiasi dan pertimbangan yang melibatkan semua wali murid mengenai acara yang menjadi hajat bersama itu.
Mamak bilang, ia cukup sebal dengan guru-guru dan kepala sekolah yang memimpin rapat itu. Menurutnya mereka terlalu memojokkan mamak karena menuntut keterbukaan alokasi dana secara terperinci. Guru tersebut terus bertanya mamak saya ini wali murid dari siapa. Tentu mamak tidak ingin anaknya nanti dibully karena mamaknya banyak protes. Ia terus berbelit dan tidak langsung mengatakan bahwa ia adalah wali murid adik saya.
"Sebel banget mamak, masak gara-gara itu mamak dikira penyusup yang sengaja bikin onar." Katanya.
Padahal sebelum itu, mamak juga turut menyumbang pendapat mengenai masalah pengadaan komputer untuk keperluan UNBK di sekolah adik saya ini.
Jadi ceritanya, sekolah ini baru saja mendapat musibah, kebobolan maling. Sehingga fasilitas yang akan menunjang UNBK tahun ini raib di bawa maling. Tentu itu masalah yang serius. Pihak sekolah kemudian menyarankan kepada wali murid untuk bisa mengusahakan laptop supaya ujian tetap berjalan. Entah itu membeli, menyewa atau meminjam.
Maka hal itulah yang tadinya membuat mamak menginstruksikan saya agar segera pulang. Supaya adik saya bisa meminjam laptop untuk ujian. Tapi masalah tidak sesederhana itu, tentu tidak semua wali murid mampu mengadakan fasilitas yang terbilang mahal itu dalam waktu singkat. Ada wali murid yang mau dipaksa seperti apapun kalau tidak punya kekuatan untuk mengadakan laptop ya tetap tidak bisa. Akhirnya diadakan rapat lagi.
Dalam rapat itu, mamak mengusulkan bahwa semua wali murid sebaiknya melakukan swadaya untuk mengusahakan sewa laptop. Maka ia memohon kesediaan para guru untuk berkenan meminjamkan laptopnya selama proses ujian berlangsung. Dan biaya akses internet nanti disokong semua wali murid. Akhirnya disepakati bahwa setiap wali murid mengeluarkan dana sebesar Rp.200.000 demi kelancaran UNBK tersebut.
Sementara itu, mamak saya juga menyarankan bagi wali murid yang sudah terlanjur mengusahakan laptop untuk anaknya tetap diapresiasi. Dengan tidak perlu membayar sokongan Rp.200.000. Sehingga kebijakan inilah yang membuat saya tidak jadi buru-buru pulang karena masalah sudah teratasi.
Mamak bercerita, ia sampai berdiri dan menghadap kepada seluruh wali murid yang hadir saat mengutarakan pendapatnya itu.
Saya jadi membayangkan, kalau saja mamak saya ini bisa menyempurnakan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Tentu ia akan jadi perempuan tercerdas satu universitas. Atas keberanian, solusi yang ia tawarkan pada setiap permasalahan yang kerap terjadi di keluarga kami, juga pemikiran yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Di akhir obrolan kami, mamak mengatakan bahwa anaknya akan sangat rugi jika hanya bisa seperti beliau. Apalagi sampai di bawahnya.
"Rugilah kamu ini kalau cuma jadi kaya mamak, nggak usah sekolah tinggal ikuti apa yang mamak bilang kan lama kelamaan kaya mamak, tapi kan kamu sekolah maka setidaknya kamu harus melampaui mamak."
Kalau boleh berlebihan, saya ingin mengatakan bahwa mamak saya adalah feminis sejati (paling tidak versi saya sendiri) yang memperjuangkan suara-suara perempuan. Mereka kerap bungkam hanya karena minimnya keberanian.
*Kali lain, aku akan gantian bercerita tentang bapakku yang patut diberi gelar sebagai aktivis ecofeminisme. Atas gerakannya menanam apa saja di pekarangan rumah.
0 Response to "Suara Perempuan di Rapat Sekolah"
Post a Comment