Orang-Orang Oetimu (Sebuah Novel Pemenang Sayembara Dewan kesenian Jakarta 2018)
Buku ini adalah rekomendasi kawan saya beberapa minggu yang
lalu. Ia memperoleh pinjam buku pemenang sayembara novel dewan kesenian jakarta
ini, dari salah satu mentor kami menulis. Setengah perjalanan membaca, kawan
saya langsung tertarik memiliki bukunya. “Gilak bagus banget,” Katanya.
Seperti sebelum-sebelumnya ia selalu merekomendasikan
buku-buku yang menurutnya bagus kepada saya. Sampai akhirnya saya ikut jatuh
cinta pada buku bersampul putih ini. “Orang-orang Oetimu” judulnya.
Saya kurang paham kata “Oetimu” ini menggambarkan Nusa
Tenggara Timur tempat penulis itu dilahirkan atau daerah Timor Timur. Karena di
dalamnya mengisahkan pergolakan orang-orang Timor Timur dalam usaha
memerdekakan diri dari Indonesia yang dianggap telah menjajahnya. Setidaknya
itulah yang saya pahami setelah membaca bukunya.
Novel ini dibuka dengan cerita ringan tentang kebanggaan
orang-orang Oetimu pada pergelaran piala dunia yang menjadi satu-satunya
hiburan di kampung. Hingga mengantarkan kisah Laura, seorang perempuan korban
kolonialisme yang terpaksa menjalani hidupnya secara tidak manusiawi.
Orangtuanya di bunuh, ia disiksa dan diperkosa, diberi makan sangat sedikit,
hingga ia menderita, ia kabur melewati hutan dan badannya penuh dengan koreng.
Padahal saat itu ia sedang hamil. Entah bagaimana menggambarkan potret derita
seorang perempuan bernama Laura ini.
Tidak salah jika mengatakan bahwa buku ini, mengusung isu-isu
perempuan. Karena selanjutnya kita akan disuguhkan dengan tokoh Maria dan Silvy,
yaitu dua perempuan cerdas yang menunjukkan sikap berdayanya di tengah-tengah
kehidupan sosial masyarakat. Silvy bahkan memutuskan bahwa ialah yang akan
memilih ayah untuk calon anaknya; seperti sel telur yang telah memilih sendiri,
sperma mana yang harus ia terkam. Silvy bisa menderetkan jutaan laki-laki di
depannya dan memilih satu yang terbaik, satu yang ia sukai.
Kalau boleh kasar dan berlebihan, saya ingin mengatakan buku
ini bangs*t sekali. Bangs*t vulgarnya tapi juga bangs*t
keren bangeeeettt. Maka tidak heran jika di belakang sampul buku ini
terdapat tulisan ‘19+’. Tanda hanya boleh dibaca dengan batasan usia tertentu. Saya
membaca buku ini seperti dengan menonton film porno, atau kata kawan saya
‘Membaca buku Orang-Orang Oetimu itu menciptakan film porno di kepala kita.’
Tapi lebih dari itu, buku ini benar-benar membawa kita pada
realitas sosial pada wilayah Indonesia bagian Timur yang tidak merasakan kemerdekaan
sepenuhnya.
“Maka sesaklah dada Am Siki. Ia menjadi bersedih hati, sebab orang-orang asing itu selalu datang silih berganti, tetapi tak ada satupun yang mau belajar berbicara dengan bahasa yang baik dan benar. Selalu saja orang-orang Timor yang dipaksa untuk mempelajari arti dari bunti-bunyi aneh yang kelaur dari mulutnya; mulai dari portugis, Belanda, Jepang, sampai Indonesia.” Hal 39.
Bagaimana penulis menggambarkan gereja didobrak kesuciannya
tapi menjadi kiblat utama bagi orang-orang Timor. Agak sensitif memang dibagian
ini menurut saya.
“Meski ada seribu tentara brengsek, bukan berarti kemiliteran itu brengsek. Meski ada seribu pastor tukang main perempuan, bukan berarti Gereja adalah penjahat. Meski ada seribu pejabat korup, bukan berarti kita ridak butuh negara.” Hal 156
Itu adalah kata-kata Romo Yosef kepada Maria. Seorang
perempuan yang membuatnya melanggar apa yang tak boleh dilakukan oleh Pastor,
ya jatuh cinta. Yosef makin jatuh cinta kala Maria terlampau sering mengumpat
berbagai kebrengsekan yang ia temui dalam kehidupannya. Tapi singkat cerita
mereka tetap tidak bisa bersama kendati keduanya sudah saling tahu akan
perasaan masing-masing.
Hingga mereka dipertemukan kembali saat Maria sudah
berkeluarga dan punya anak. Tapi kemudian Maria dibuat gila ketika Suami dan
Anaknya harus mati karena kecelakaan. Ada kata-kata Maria yang menurut saya
bikin merinding.
“Maria dan kawan-kawannya berusaha melaporkan temuan itu ke sana ke mari. Setelah lama berjuang dan tak kunjung ada perkembangan, Maria mengakui bahwa kelompoknya terlalu kecil untuk berhadapan dengan pejabat-pejabat korup. Orang-orang itu telah korup sejak dalam pikirannya, sehingga satu pejabat korup hanya akan digantikan oleh kroninya yang juga korup, dipermudah oleh sistem yang juga korup, dan didukung oleh budaya tidak tahu malu yang menjijikkan. Mereka tanpa malu saling melindungi kebusukannya, meski baunya lebih bangar daripada mayat orang-orang miskin yang bergelimpangan.”
Over all, novel ini benar-benar menggunakan perspektif yang berbeda dalam
menuturkan isu-isu sosial, pendidikan, pemerintah, militer, perempuan,
seksualitas dan humor. Tengkyu Felix karyamu luar biasa. Kekurangannya cuma
satu, mungkin dalam perlombaan ini susah ditandingi. Saya akan mengakhiri
review ini dengan satu kutipan yang mungkin akan membuat kita merasa tertampar.
“Kita mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan titel sarjana, lalu menggunakan titel sarjana itu untuk kembali mencari uang. Betapa bodohnya kita.”
Judul Buku : Orang-Orang Oetimu
Penulis : Felix K. Nesi
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : 2019
Tebal :
220 Halaman
Pereview : Ririn Erviana
0 Response to "Orang-Orang Oetimu (Sebuah Novel Pemenang Sayembara Dewan kesenian Jakarta 2018)"
Post a Comment