Wisata Danau Toba dan Kenangan yang Tidak Bosan Diingat
Malam itu, kami punya beban ganda. Membayar kelelahan
setelah seharian reportase lapangan dengan istirahat, tapi juga harus
melakukan perjalanan. Jadilah kami beristirahat di hotel berjalan. Berbeda dengan
siang, malam itu begitu di dingin, utamanya di dalam bus.
Kami berangkat menuju Danau Toba dengan dua bus, satu bus
berisi peserta PJTL dan Panitia, satu bus lagi berisi seluruh kru LPM Dinamika.
Aku duduk berdua dengan Mita, sementara di belakangku ada
Thomas dan Fiskal. Beberapa dari kami memilih langsung tidur, selebihnya justru
memanfaatkan masa-masa terakhir ini untuk seru-seruan dan bernyanyi bersama. Entah
sampai jam berapa karena sepertinya tanpa sadar aku sudah terlelap.
Hingga kira-kira terlewat waktu subuh, Thomas membangunkanku
dari kursi belakang. Ia menyuruhku menatap jalanan. Menunjukkan bahwa kami
sudah sampai Parapat (Kawasan Danau Toba). Udara semakin dingin rasanya, karena
Danau Toba terletak di dataran tinggi. Dia Bilang terakhir kali pergi ke Danau
Toba itu waktu SD, meski ia asli orang Medan.
Setelah beberapa saat kami tiba di pemberhentian bus, kemudian
turun dan masing-masing menuju masjid untuk salat dan membersihkan diri. Aku tidak
ingat saat itu sempat mandi atau tidak, tapi yang jelas air di sana sangat
dingin.
Setelah semua siap dengan kaos masing-masing, kami langsung
naik ke kapal dan menuju Pulau Samosir, tepatnya ke Huta Sialagan. Huta artinya
desa jadi Desa Sialagan. Di kapal kami juga sarapan bersama dan tentunya saling
kongek, karena sudah keakraban sepertinya sudah menjadi milik kami seutuhnya.
Penyeberangan itu menghabiskan sekitar satu jam lebih. Seluruh
peserta memilih duduk di bagian paling atas kapal, untuk menikmati indahnya
danau toba. Ada beberapa ketakutan yang kami rasakan sebetulnya, sebab belum
lama terjadi kapal tenggelam yang kemudian baru diketahui bahwa dalamnya danau
toba itu sekitar 1.600 meter.
((Makanya enggak ada yang bandel ketika disuruh pakai
pelampung. Jadi semua nurut aja hahahaha.))
Selama perjalanan ini, kami mendengarkan penjelasan Bang
Hisyam Syahdani seputar Danau Toba. Bang Hisyam ini alumni Dinamika juga, ia
adalah finalis Duta Bahasa di Medan bareng Patrial Zega waktu itu. Panjang
lebar ia jelaskan tentang Danau Toba meskipun kami juga tidak terlalu jelas
dengarnya, karena suara bising kapal. Konon kampungnya juga sekitar Parapat
sini.
Tidak terasa kapal kami menyandar di Huta Sialagan. Di sini
ada sebuah kekonyolan terjadi, sendal Fiskal kecemplung danau karena ia
buru-buru turun dari kapal. Sepertinya ia sangat menyesali, tapi apa mau dikata
sendal sudah hanyut ke tengah. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan,
meninggalkan sendal Fiskal yang hanyut bersama penyesalannya.
Di pinggir danau kami sudah di sambut tour guide dari Huta
Sialagan. Tapi sebelum masuk, kami foto bersama dulu di depan Gapura Pulau
Samosir. Selanjutnya tour guide membawa kami ke depan rumah adat Batak. Di sana
kami diajak menari 7 jenis tarian dan masing-masing menggunakan hiasan kepala
dan ulos Batak.
Kain ulos ini adalah kain adat batak yang ditenun oleh
ibu-ibu di Huta Sialagan. Ulos memiliki beragam fungsi, seperti penutup kepala
sampai penghangat tubuh ketika malam hari. Sangat menyenangkan rasanya.
Aku merasa Indonesia begitu kaya dengan keragaman budayanya.
Selama 5 hari ini aku benar-benar merasakan bahwa Indonesia begitu luas dan
sangat menyenangkan mempelajarinya. Kami diperkenalkan dengan patung yang konon
dahulu ia bisa menari saat malam hari. Juga sejarah tentang tongkat dan hukuman
pancung.
Pokoknya panjang kalilah bapak itu menjelaskan, aku sampai
tidak ingat apa saja karena aku sudah benar-benar lelah saat itu.
Kini tiba saatnya perburuan oleh-oleh khas Medan. Inilah bagian
paling seru dan menantang. Panitia mendampingi kami membeli oleh-oleh. Sebab menawar
harga dari orang-orang batak ini tidak mudah.
Thomas yang sedari tadi di sampingku juga turut membantuku
menawar. Aku berniat membeli kain ulos ini untuk oleh-oleh. Karena sangat
tertarik dengan motif dan warnanya yang khas. Selain itu aku juga membeli
beberapa aksesori untuk dibagikan kawan-kawan di Lampung nanti.
Ada teknik tertentu bagi orang batak untuk menawar ternyata. Yaitu dengan berpura-pura satu marga dengan si penjual. Kata Thomas kita harus tanya dulu ke penjual itu marganya apa. Kemudian kita sok sok an sama marganya, kan kalau satu marga itu sama aja masih keluarganya. Wkwkwk.
Tidak lupa kami juga beramai-ramai beli tali ulos ikat kepala. Thomas membeli tiga, yang satunya ia berikan untukku. Menyenangkan sekali rasanya kami berlagak jadi orang Medan semua. Hahahaha.
Tidak lupa kami juga beramai-ramai beli tali ulos ikat kepala. Thomas membeli tiga, yang satunya ia berikan untukku. Menyenangkan sekali rasanya kami berlagak jadi orang Medan semua. Hahahaha.
Setelah puas menghabiskan kocek, kami kembali menuju Kapal. Menutup
persinggahan di Pulau Samosir ini dengan sedikit foto, karena cuaca hari itu
sedikit mendung.
Ada yang mengagetkan, ternyata sendal Fiskal yang tadi
hanyut melipir ke tepi Danau. Girang betul dia, sendalnya tidak jadi hilang.
Memang kadang seperti itu, ketika kita mengikhlaskan sesuatu, justru akan tetap jadi milik kita kalau sudah takdir.
Seperti biasa Perjalanan pulang akan terasa lebih cepat
ketimbang berangkat.
Kami kembali ke Danau Toba saat waktu menjelang zuhur. Ada
gerimis-gerimis kecil yang menemani kami. Sehingga hal itu membuatku pindah
duduk dari atas kapal ke bagian bawah. Aku mengobrol sebentar dengan Firda,
yang saat itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi LPM Dinamika. Ia adalah
perempuan yang cerdas dan kece.
Sampai di Tepi Danau Toba, aku memungut beberapa batu dari
sini. Harapannya sih, biar bisa balik kesini mengembalikan batunya. Entah dengan
orang yang sama atau berbeda.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kembali ke Medan,
tapi sebelum itu kami singgah di Padang Siantar. Kami makan siang di sana dan
beristirahat sebentar. Aku, Mitha, Thomas, Fiskal, dan yang lainnya menikmati
rujak sambil bercerita ngalur ngidul bahkan sampai perjalanan berlanjut dan
sampai di Medan lagi.
Hari itu, rasanya waktu berputar lambat saja. Karena kami
benar-benar tidak ingin semua berakhir. Bahkan aku sampai bersenang hati kalau
kami tidak lewat tol, agar perjalanan ini lebih lama. Memang seperti ini
penyakitnya, pelatihan itu baru terasa nikmat kalau sudah mau selesai. Dasar manusia.
Pelatihan memang sudah selesai, tapi segudang ceritanya belum selesai. Ada rindu yang katanya tak pernah usai. Tapi sampai sekarang jumpa belum juga tergapai.
Bersambung...
0 Response to "Wisata Danau Toba dan Kenangan yang Tidak Bosan Diingat"
Post a Comment