Gamis: Antara Syahwat Hijrah dan Degradasi Lingkungan
Belakangan saya mengalami perubahan
signifikan dalam diri saya. Saya adalah salah satu perempuan yang pernah
terjerumus dalam aksi hijrah-hijrah club. Kabar buruknya saya termasuk
segelintir orang yang tak mampu menjalankan roda keistiqomahan.
Kalau lihat teman yang barusan hijrah
saya ingat pernah se-ukhti itu dulu. Ada masa ketika saya lumayan gila dan
maniak dalam membeli gamis dan aksesori untuk menambah derajat keukhtian−−untuk
tidak menyebutnya semangat terlihat lebih saleh.
Mungkin saya terperdaya dengan sebuah
tampilan, hingga menganggap jilbab besar, jidat hitam, handshock dan
sederet aksesori hijrah lainnya menjadi nilai tambah kesalehan seseorang.
Ketika
jadi sekadar tren fesyen, gamis dan jilbab besar itu sebatas mode saja.
Orang membeli dan mengenakannya karena memang sedang hits. Ujungnya,
bisa jadi fenomena hijrah mengantarkan seseorang pada perilaku konsumtif untuk
memenuhi syahwat kesalehan di mata manusia.
Tidak
sedikit perempuan yang merasa menemukan jalan hijrahnya, akan memuseumkan pakaian
lamanya. Kemudian ia penuhi lemarinya dengan koleksi pakaian yang menurutnya
lebih syar’i.
Padahal,
kalau dipikir-pikir, meningkatnya produksi gamis dengan pewarna tekstil, akan
menghasilkan limbah yang tak ramah lingkungan. Di
Indonesia industri tekstil merupakan salah satu penghasil devisa negara, dimana
pergerakan dan perubahan tren fesyen sangat cepat menyebabkan
permintaan tekstil semakin besar. Pencemaran industri dalam bentuk zat cair
merupakan masalah yang sangat besar pada pengendalian dampak lingkungan pada
industri tekstil.
Non
product output berupa limbah dan emisi dari industri
tekstil khususnya finishing-pewarnaan (dyeing) ternyata berpotensi
menyebabkan pencemaran air dengan kandungan amoniak yang tinggi. Misalnya, kasus pembuangan limbah cair dengan kandungan
kimia terjadi pada pabrik tekstil yang terletak di Kota Bandung, telah
mencemari Sungai Citarum. Baku mutu yang tinggi menjadi penyebab pendangkalan
dan kekeruhan pada air.
Kapitalisasi bahkan dapat menyamar dalam
bentuk yang begitu relijiyes bukan? Bayangkan
saja siapa yang paling diuntungkan dengan membubungnya syahwat hijrah perempuan
dan keinginannya mengoleksi banyak gamis itu?
Siapa lagi kalau bukan mereka kaum kapitalis pemilik alat produksi itu?
Perempuan yang awalnya memiliki tujuan
mulia, menjaga iffah dan izzahnya. Ternyata tujuan itu direduksi dan malah
berpotensi menjerumuskan dalam jurang konsumtif dan merusak lingkungan.
Barangkali,
sudah waktunya kita menimbang-nimbang bahwa maraknya gerakan
hijrah berbanding lurus dengan budaya konsumtif yang melonjak. Hal itu pula
yang menyebabkan industri tekstil juga semakin getol melancarkan produksi.
Namun, yang
sering terlupakan adalah limbah tekstil yang tidak dapat terurai akan
menyebabkan degradasi lingkungan. Berapa banyak biota yang tak dapat bertahan
hidup jika setiap perempuan memutuskan untuk konsumtif terhadap pakaian.
Tulisan
ini tentu tidak bermaksud mendiskreditkan mereka yang hijrah. Apabila mereka
yang tidak hijrah justru lebih konsumtif terhadap pakaian. Tapi di sini,
bagaimana perempuan seharusnya sadar bahwa dirinya kerap dijadikan
objektifikasi kapitalisme.
Dalam
konteks hijrah-hijrahan ini, perempuan seperti dininabobokan dengan anjuran
pakaian yang syar’i. Sehingga mereka kemudian mengglorifikasi gamis dan
mengganti pakaian lama mereka yang dianggap tidak lebih syar’i. Padahal, yang
bukan gamis belum tentu tidak syar’i. Sempit sekali, jika tolak ukur syar’i
hanyalah gamis takarannya.
Akhirnya
lupa akan dampak buruk dari budaya konsumtif itu terhadap kelangsungan bumi.
Boleh jadi, limbah pewarna tekstil itu malah menyakiti atau bahkan membunuh
makhluk hidup di sekitarnya.
Jangan
sampai hijrah hanyalah ajang pembuktian kesalehan lewat tampilan luarnya saja,
tapi jauh dari substansi hijrah itu sendiri. Jika kemudian, jutaan perempuan
tidak menyadari bahwa sikap konsumtifnya adalah keberhasilan kaum kapitalis.
Perempuan
tetap bisa menjadi lebih saleh melalui jalan ninjanya yang lain. Berhati-hati
membelanjakan uangnya terhadap benda-benda dan akseseori yang berpotensi
merusak lingkungan. Menjadi saleh kan bukan melulu soal pakaian.
Pada
akhirnya, persoalannya bukan mempermasalahkan perempuan untuk meningkatkan kesalehan,
antara lain dengan memakai pakaian yang dianggap lebih syar’i. Hanya saja,
perlu waspada jangan sampai keinginan memperbaiki diri justru mengantar
perempuan pada pola hidup yang konsumtif. Percayalah, bagi bumi itu
menyakitkan. Karena yang sedang tidak baik-baik saja bukan hanya iman kita,
tapi juga bumi kita.
Jangan lupa juga sist, hijrah pun harus dibarengi akhlaq yang luhur serta tidak menjadi seperti orang yang sudah "ahli surga"..
ReplyDeleteWah ini. Bener banget gan.
DeleteOh ya salam kenal ya sist. Dan ditunggu kunjungan baliknya ke blog saya..
ReplyDeletehttps://zaeabjal.blogspot.com
siap gan, otewe
Delete