Perempuan dan Pernikahan
“Pernah tidak kepikiran kalau perempuan akan mengalami
kemunduran produktivitas setelah ia menikah?” Kata seorang mentor suatu hari.
Atau ketika kerja, salah satu teman kita sudah berkeluarga
dan sering sekali terlambat. Ketika ditanya jawabannya. “Nanti kalau sudah
menikah kamu pasti ngalamin yang kaya gini.” Entah itu ketidakdisiplinan yang
berlindung di sebuah status atau sebenarnya ada beban berlebih yang ditanggung perempuan.
Barangkali, alasan yang paling masuk akal adalah beban
domestik bagi perempuan yang sudah menikah akan bertambah. Dari yang hanya
mengurus dirinya sendiri, sekarang harus mengurus suaminya dan barangkali
anaknya.
Seorang teman pernah bertanya kepada saya seperti ini,
“Wanita karier kan jarang di rumah, sibuk kerja jadi
perhatian buat anak jadi kurang. Nah menurut sampean gimana kita bisa jadi
rumah yang baik sedang kita memilih jadi wanita karir?”
Saya rasa pertanyaan template itu, sering terdengar
ditelinga kita. Tapi kenapa tidak ada yang menanyakan, “Bagaimana menjadi Ayah
yang baik, sementara ia selalu sibuk bekerja?”
Rasanya ‘Rumah’ untuk seorang anak harus
diredefinisi. Rumah sebagai tempat pulang bukan hanya menyiratkan sosok ibu
untuk tempat cerita, tapi juga menghadirkan sosok ayah. Begitu juga dengan
segala beban domestik yang selama ini menjadi beban perempuan. Memangnya kalau
ayah yang menyiapkan sarapan, perempuan jadi hilang keibuannya?
Maka adanya konsep mubaadalah atau kesalingan seperti memberi angin segar bagaimana dua orang bisa selalu ‘saling’ dalam menjalankan
tanggungjawabnya. Tanggungjawab mengurus anak adalah tanggungjawab bersama,
bukan hanya perempuan. Menyelesaikan pekerjaan domestik adalah tanggungjawab
bersama bukan hanya perempuan. Sehingga kesalingan mencapai ujung yang saling
membahagiakan.
Perempuan tetap punya hak yang sama untuk memilih apa yang
akan ia lakukan terhadap potensinya. Tidak untuk dibunuh daya pikir dan
kreatifnya oleh kodrat keperempuanannya atau status karena dia telah menikah.
Apa yang disebut keadilan gender bukan menempatkan perempuan
untuk ‘Kanca wingking’ saja supaya tidak memiliki beban ganda. Tapi memberi
kesempatan dan fasilitas supaya perempuan dan laki-laki setara. Perempuan dengan
segala pembawaan biologisnya perlu mendapat support system. Bukan malah
dipinggirkan supaya aman, tapi ditarik untuk bisa menampilkan daya pikir dan
kreatifnya.
Jangan sampai cinta antara laki-laki dan perempuan yang
diikat oleh pernikahan terbentur oleh budaya patriarki yang akan mengerutkan
produktifitas salah satu pihak. Tapi bagaimana ketika dua insan telah bersatu
semakin memperluas persahabatan.
Oleh karena itu, sebelum menikah pembelajaran bersih-bersih rumah, mencuci,
memasak bukan Cuma tugas anak perempuan ya, tapi laki-laki juga. Agar terbiasa bahwa pekerjaan tidak mengenal
gender. Sehingga terwujud relasi yang produktif.
cewek wajib baca ni
ReplyDeleteCowok juga wajib yaaa
Delete