Ketahanan Pangan Desa di Tengah Pandemi Corona
Masa quarantine sudah berlangsung dua minggu lebih. Banyak orang mengeluhkan kebosanan.
Sementara yang lain lagi mengeluhkan sudah tak punya cadangan pangan. Lambat laun yang putus bukan saja rantai penyebaran virus, tapi malah rantai perekonomian.
Hal-hal seperti ini akan sangat terasa di kota-kota besar. Ketika aktivitas dan hiruk pikuk kesibukannya kini dipaksa hening. Dan ketika gerakan itu terhenti, napas perekonomian perlahan ikut berhenti.
Setidaknya itulah yang dikeluhkan beberapa pedagang yang saya temui kala membunuh kebosanan di kosan pasca bekerja dari rumah.
Seorang pemilik bengkel kecil di pojok kampus, ia bertanya kapan anak-anak kuliah akan masuk saat kami memintanya menambal ban yang terkena paku. Tidak banyak yang bisa kami berikan sebagai jawaban, karena semuanya memang penuh ketidakpastian.
Selepas itu kami menuju warung mie ayam di daerah 22 Hadimulyo Timur. Sesuai rencana semalam untuk menambatkan rindu-rindu akan nikmatnya semangkuk mie ayam.
Setelah membelokkan stir motor, tampak rona sumringah dari ibu penjualnya. Nampaknya ia memang sudah sedari tadi berharap ada yang mampir.
Setelah memesan kami duduk sambil membincangkan hal-hal menarik pasca terjadi pandemi corona ini. Mulai dari efektifitas kerja dari rumah, ragam mie ayam yang pernah dinikmati sampai pada permasalahan ekonomi. Utamanya ekonomi lokal.
Sejurus dengan itu, beberapa orang mulai ramai mampir ke warung mie ayam ini. Kami mengulas senyum, mengerti apa yang sedang kami pikirkan satu sama lain.
Begitu percaya dirinya kami merasa menjadi penglaris ibu penjual mie ayam ini. Dan sampai kami selesai makan mie ayam, yang bisa dipastikan lama sekali itu. Warung ini belum juga sepi kembali.
Yang tak pernah lepas dari solusi karantina wilayah dan anjuran berdiam diri di rumah, tentu saja masalah ekonomi. Ia akan jadi hal yang seharusnya perlu jadi pertimbangan utama. Agar jangan sampai muncul virus lain, yang juga berpotensi mematikan.
Memang betul kata nitizen yang entah dari mana itu. Bahwa,
Virus kelaparan tidak ramai diperbincangkan dalam televisi. Karena kelaparan tidak akan membunuh orang-orang kaya.
Tapi di belahan dunia lain atau sebut saja desa, Orang-orang tak memiliki risau berlebihan. Apalagi soal ketahanan pangan. Kini orang-orang urban sedikit iri dengan mereka yang ada di desa, karena semua bisa tumbuh dari tanah suburnya.
Dengan adanya musibah ini, desa menunjukkan performanya tentang jaminan hidup yang lebih panjang. Bertolak belakang dari stereotip yang selama ini berkembang, bahwa orang-orang desa adalah terbelakang. Tidak akan maju karena minimnya pengetahuan. Padahal sejatinya di desa lah masa depan itu bisa diharapkan.
Penduduk desa punya ciri khas mempertahankan tanaman lokal, bertani tumpang sari, dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di samping menanam tanaman pokok, ada cabai, sayuran seperti kacang, dan daun singkong untuk memenuhi kebutuhan sayur mayur. Kangkung dan genjer biasanya tumbuh di pinggiran sawah dan kali, memang tak sebagus kalau beli. Tapi sayuran liar ini juga tak kalah sedapnya ditumis.
Dan itu pula yang saya rasakan, setelah berulang kali membunuh kebosanan. Akhirnya saya kalah juga, dan pulang ke desa akhirnya menjadi pilihan.
Beruntung saya masih punya tempat singgah terdekat dari tempat merantau yang sekarang. Karena kalau pulang kampung tentu saja saya akan dikarantina lagi. Tapi di Buana Sakti-Batanghari ini, yang letaknya tak begitu jauh dari Metro saya tak perlu dikarantina dengan ketat.
Rupanya benar dugaan saya, mereka tak memiliki risau berlebihan. Sawah hijau yang membentang di sepanjang jalan seperti menggambarkan jaminan untuk beberapa waktu yang akan datang.
Anak-anak berlarian seperti biasa. Bahkan ada juga yang sedang sambatan bangun rumah. Sampai di rumah mbok (sapaan nenek perempuan saya) juga tidak sepi, ada beberapa tetangga yang berkunjung karena istri paman saya baru saja melahirkan.
Kembali ke persoalan ekonomi, tentu saja kalau soal ketahanan pangan desa tidak begitu khawatir. Bahkan jika saja akan diberlakukan lockdown. Desa akan mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Padi, sayuran lokal, ikan dari sungai, kelapa, dan guyub rukun mereka adalah kekayaan yang sekarang diinginkan masyarakat urban.
Dan benar saja, sore itu saya nyeletuk minta dicarikan ikan untuk lauk makan kepada paman. Tidak sampai 1 jam ia pergi naik motor menuju sungai, kemudian pulang membawa ember kecil yang berisi ikan wader, sepat, kocolan (Ikan anakan gabus) dan udang kecil-kecil.
Paman saya telaten memasang wuwu. Wuwu adalah keranjang yang digunakan untuk menjebak ikan. Biasanya dipasang sore hari, ditunggu sehari kemudian wuwu akan berisi ikan. Bentuk dan penyebutan wuwu ini berbeda-beda setiap daerahnya.
Setelah itu saya langsung mengeksekusi ikan-ikan kecil ini. Meskipun sebetulnya merasa sedikit jijik membersihkan kotorannya. Karena sudah lama sekali tidak mbeteti iwak kecil-kecil seperti ini. Kira-kira terakhir waktu SD lah sewaktu masih jadi anak bilang.
Meskipun begitu, saya tetap terbayang gurihnya ikan kali sebagai bayaran atas rasa jijik tadi. Bagi saya rasa ikan kali memang beda dengan ikan-ikan peliharaan. Karena rasanya lebih gurih. Dan jadilah dengan sedikit gosong, sambel ikan saya.
Paginya saya bangun dan akan menjadi gadis desa untuk beberapa hari ke depan. Mengerjakan pekerjaan domestik dan berusaha produktif. Ingin meredefinisi desa dengan kekayaan alamnya.
Belum selesai saya beres-beres rumah dan membantu bibi yang baru saja menjadi ibu itu. Paman saya entah datang darimana membawa ember kecil yang berisi ikan kali. Tapi kali ini lebih banyak dari kemarin sore jumlahnya. Aku menebak, tentu saja dia habis pergi mengambil wuwu nya di sungai.
0 Response to "Ketahanan Pangan Desa di Tengah Pandemi Corona"
Post a Comment