Di Kaki Bukit Cibalak
Merawat kewarasan dengan membaca buku legend dari penulis senior Ahmad Tohari. Kebetulan banget akhir-akhir ini seneng sama konten pedesaan. Makanya buku ini seperti angin segar yang dihadiahkan oleh semesta. Dan ternyata benar-benar relevan dengan budaya desa.
Meskipun ada beberapa hal yang berbeda, mungkin dikarenakan buku ini ditulis pada tahun 1994. 26 tahun silam tentu bukan waktu yang sebentar untuk mengubah keadaan desa pada saat ini. Tapi pokok-pokoknya tentang pertanian, kelurahan dan beberapa konflik desa masih relevan.
Berkisah tentang pemuda bernama Pambudi yang luhur tumbuh di sebuah desa dengan berbagai problema. Mulai dari sistem pemerintahan desa yang tidak sehat, isu kemiskinan, pemimpin otoriter dan oligarki, hingga gadis desa yang menjadi incaran banyak orang.
"Memang, si anu itu jarang hadir di antara kita. Dia jarang muncul di jalan-jalan, pasar, atau pabrik, bahkan kantor-kantor sekalipun. Tetapi bagaimanapun juga si anu masih ada. Kita sendiri yang baru saja membuktikannya: Kemanusiaan." Hlm 54-55
Di desa yang masyarakatnya punya citra rukun, gotong royong dan peduli sesama ternyata tetap saja menjadi manusia yang manusia itu berat. Karena seringnya kita bersikap baik kepada 'sesiapa' yang ada di hadapan bukan tentang 'apanya' yang perlu dibantu.
Tidak mengherankan bukan? Jika manusia picik itu dapat tumbuh dimana pun tempatnya. Bahkan pada sebuah desa yang kerap dianggap komunitas ayem tentrem.
Pambudi yang punya tekad baja itu perlu dijadikan cermin bagi anak-anak zaman sekarang yang mudah putus asa. Ia juga mengusahakan hal-hal yang menjadi perkataan nuraninya. Kalau kata anak zaman sekarang enggak fake dan pencitraan gitu lah hehehe.
"Terkadang kita ingin segera mengenakan baju besi, memanggul tombak, dan lari menantang musuh. Tapi ingat, hanya Arjuna kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa. Hanya si kecil Daud yang bisa menang atas Goliat." Hlm 99
"Inilah saatnya kau memercayai kata-kata seorang admiral yang sedang menghadapi pemberontakan anak buahnya sendiri, 'I have not begun to fight yet.' Kau belum cukup mempunyai modal untuk menantang berkelahi kepalsuan dan kemunafikan yang terjadi di desamu." Hlm 100-101
Karena akhirnya, hasil akan tetap berpihak pada proses. Sekeras apapun usaha dan sesering apapun kegagalan itu menjadi teman, tetap tidak ada yang sia-sia dari kebaikan.
Buku yang membuat mata hati menjadi melek akan kepedulian terhadap sekitar dan mencintai tempat berasal. Bukan soal memikirkan kepentingan individu tapi juga bagaimana memberi manfaat seluas-luasnya.
0 Response to "Di Kaki Bukit Cibalak"
Post a Comment