Tidak Selamanya Anak Broken Home Punya Konotasi Negatif
Pagi ini, teman kosanku semasa kuliah tiba-tiba curhat.
Tentang kebingungannya menjelaskan kepada calonnya, bahwa dia anak broken home.
Alasannya memilihku sebagai teman curhat sudah tentu karena aku juga anak
broken home. Dia bertanya apakah aku sudah menceritakan latar belakang
keluargaku ke doiku.
Aku sedikit bingung dan berusaha mengingat-ingat kapan
bercerita soal itu ke doi. Karena sekarang doiku memang sudah tahu akan hal
itu.
Tapi sial, aku tak berhasil mengingatnya. Karena memang dari dulu aku tidak memusingkan
status dan latar belakang keluarga, kecuali jika berurusan dengan administrasi.
Karena, for your info aja administrasi bagi seorang anak
broken home, atau ini Cuma aku saja yang merasakan, itu sangat memusingkan. Apalagi
kalau sedari awal administrasi pasca orang tua berpisah kurang jelas.
Beberapa waktu
yang lalu aku harus mengurusi berkas-berkas kuliah adikku. Menyelesaikan itu
semua, membuatku teringat kejadian setiap pergantian jenjang sekolah.
Persyaratan administrasi seperti, KTP orang tua atau
beberapa surat keterangan lainnya. Mungkin yang tak banyak orang tahu, bahwa
sesekali dalam hidup seorang anak broken home, ia merasa inferior.
Tidak tumbuh di dalam keluarga yang sehat membuatnya kurang
percaya diri terhadap anggapan orang lain terhadap dirinya. Seperti yang
terjadi pada temanku ini. Ia bercerita tentang kekhawatirannya kalau nanti
keluarga doinya memandang sebelah mata, karena ternyata ia anak broken home.
Aku tidak tahu pasti anggapan orang dari keluarga baik-baik
terhadap korban broken home. Tapi seringnya aku memiliki asumsi anak broken
home dianggap sebagai produk yang gagal. Dan itu sangat menyakitkan bahkan
hanya untuk dibayangkan.
Sebagai anak korban broken home aku ingin mengajak kalian
yang bernasib sama untuk percaya diri. Bahwa kita adalah sama, memiliki
kesempatan, waktu tumbuh dan berproses yang sama.
Membahas ini semua, kita akan sampai pada titik dimana
karakter seorang anak itu dibentuk. Yang paling awal tentu saja gen tapi yang
tidak boleh dilupakan juga ada lingkungan yang berpotensi besar terhadap itu
semua.
Ketika kuliah di jurusan pendidikan aku sering dicekoki
berbagai teori tentang karakter seorang anak melalui psikologi pendidikan. Tidak
lelahnya aku berpikir atas kenyataan diriku sendiri dan relevansinya dengan
teori psikologi perkembangan anak.
Menstigma kemungkinan terburuk akan karakter seseorang
bukanlah hal yang semestinya dilakukan. Apalagi seorang anak yang telah
mengalami broken home. Mari kita perhatikan pola pertumbuhan dan lingkungannya
tidak melulu soal gen.
Kepada teman-temanku yang beruntung memiliki dua ayah dan
dua ibu, kalian tidak perlu cemas atau merasa kecil. Buat diri kita berharga
dan selalu berpikir positif. Kenapa aku bilang beruntung? Karena sebagai anak
kita hanyalah korban, tapi orang tua bukanlah penjahatnya. Maka dari itu lebih baik menyalakan lilin
daripada mengutuk kegelapan.
0 Response to "Tidak Selamanya Anak Broken Home Punya Konotasi Negatif"
Post a Comment