Tidak Ada Cara Lain Terlepas dari Pasangan Abusif, Selain Menyudahi Hubungan Beracun
“Friend, how you can believe your boyfriend? Bahwa sekarang dia benar-benar
mencintai kamu? Tanya seorang teman di kantor secara berapi-api.
Seperti biasa diwaktu istirahat kantor kami sering membicarakan
perilaku pacar masing-masing. Tapi untuk teman yang satu ini, ia begitu sering
sambat perihal kelakuan pacarnya yang biasanya kami komentari habis-habisan
sebagai hal ‘berlebihan’ terhadap pasangan.
Ia sering mengeluh ketika hidupnya
selama 24 jam selalu terpantau oleh pacarnya, bahkan terlambat memberi kabar
beberapa menit saja sudah dicurigai berbuat macam-macam. Belum lagi, ia juga
bercerita soal pacarnya yang melarang dia menggunakan lipstik. Padahal
bersolek, merupakan bentuk aktualisasi diri yang menjadi hak perempuan. Karena
semestinya perempuan lah yang memiliki otoritas terhadap tubuhnya sendiri.
Begitu seringnya kami menjadi telinga ketika ia sedang ribut
dengan pacarnya. Sampai ada satu diantara kami yang bertanya “Kamu yakin mau
bertahan terus?”
Ia mengaku tidak punya pilihan selain bersyukur telah
mendapatkan pacar yang meski sangat posesif tapi juga mencintainya. Mereka
berdua sudah bertunangan, sementara pada tahap itu, teman saya takut akan mitos
tidak laku jika membatalkan tunangannya. Sehingga tak pernah terbesit
dipikirannya untuk menyudahi hubungan beracun tersebut.
Hari-harinya kadang dipenuhi cerita soal kekhawatiran tentang
kehidupannya pasca menikah. Ia terus menimbang jika nanti ketika sudah menikah
ada hal-hal yang sulit ia pertahankan lagi.Bahkan ia menyadari dan justru
mengamini sikap laki-laki yang superior sehingga wajar jika mengontrol
perempuan sebagai wujud kasih sayang.
Lihatlah betapa budaya patriarki dan konstruksi sosial telah
mereduksi pemikiran tentang kesetaraan dalam bentuk apapun. Pada situasi yang
tidak nyaman sekalipun, ketakutan akan mitos dan anggapan kewajaran orang-orang
selalu menjadi pertimbangan. Padahal semua itu merupakan upaya untuk lepas dari
kungkungan kekerasan.
Mau tidak mau, suka tidak suka, terima tidak terima kita memang
sudah seharusnya awarness tentang kekerasan oleh pasangan. Seberapa jauh
pattern yang harus dipatuhi agar perilaku orang lain, utamanya yang merasa
punya power lebih, tidak mengontrol tindakan kita sebagai manusia yang berdeka.
Menurut kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
republik indonesia, Kekerasan
dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan
yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan
pembatasan aktivitas.Kekerasan ini merupakan kasus yang sering terjadi setelah
kekerasan dalam rumah tangga, namun masih belum begitu mendapat sorotan jika
dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih terabaikan
oleh korban dan pelakunya.
Seringkali korban tidak menyadari
bahwa dirinya sedang berada dalam kungkungan kekerasan oleh pasangannya. Seperti
yang terjadi dengan teman saya tadi. Tak jarang mereka—atau yang paling dekat
dalam hal ini adalah teman sekantor saya ini beranggapan bahwa perilaku
pacarnya itu merupakan bagian dari cinta dan kasih sayang seorang pasangan.
Misalnya, pembatasan aktivitas oleh
pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu
posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang
dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.
Diantara banyaknya kasus
kekerasan pada perempuan, tingkat kekerasan baik secara fisik dan seksual yang
dialami perempuan belum menikah yaitu sebesar 42,7%. Kekerasan seksual paling
banyak dialami perempuan yang belum menikah yaitu 34.4%, lebih besar dibanding
kekerasan fisik yang hanya 19.6%.
Angka tersebut
membuktikan bahwa masih banyak perempuan yang belum menikah menjadi korban
kekerasan, dimana pelaku bisa saja datang dari orang terdekat seperti pacar,
teman, rekan kerja, tetangga, dsb. Namun jenis kekerasan ini bisa jadi
dilakukan oleh orang asing yang bahkan tidak dikenal oleh korban.
Tingginya angka
kekerasan ini menjadi perhatian masyarakat luas, apalagi angka kekerasan dalam
hubungan pacaran bagi perempuan yang belum menikah cukup mengkhawatirkan
belakangan ini. Simfoni PPA Tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku
kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar/teman.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional (Komnas)
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2018 juga, dari 13.384 kasus kekerasan yang
tercatat, 9.609 kasus berada di ranah privat (71%). Dari jumlah tersebut,
jumlah kekerasan dalam pacaran mencapai 1.873 kasus, dan jumah kekerasan
terhadap istri mencapai 5.167 kasus.
Lihatlah betapa kisah Min Hyun Seo dan park
in kyu dalam drama The World Of The Married yang menjalani hubungan beracun
dalam waktu yang lama, kesulitan keluar dari kekerasan dan menerima pukulan
bukan isapan jempol semata. Karena ternyata di dunia nyata pun banyak pihak
yang memilih bertahan pada pacar yang abusive. Tidak melulu soal fisik,karena
ternyata kekerasan emosional yang berbentuk posesif, curiga bahkan menuduh juga
punya efek yang menakutkan.
Kasus tentang NF di Jakarta misalnya, ia diperkosa oleh tiga
orang terdekatnya, yaitu dua paman dan satu pacarnya. Rasa frustrasi dan
kemarahan NF sampai mengakibatkan ia membunuh seorang anak dan menyerahkan diri
ke kantor polisi. Bisa saja itu adalah upayanya melarikan diri dari pemerkosa
yang tak lain orang-orang terdekatnya sendiri, pacar dan paman. Sampai sebegitu
fatalnya bukan?
Seringkali korban dibuat merasa bersalah sehingga menganggap
kekerasan yang terjadi kepada dirinya merupakan ganjaran yang harus diterima.
Tak jarang ada yang beranggapan bahwa suatu hari akan dapat mengubah kebiasaan
pasangannya setelah menikah. Padahal yang namanya kepribadian akan sulit sekali
untuk diubah.
Maka satu-satunya cara untuk lepas dari jeratan kekerasan dan
pasangan abusif itu tentu saja menyudahi hubungan yang beracun. Meyakinkan diri
bahwa ketidaknyamanan yang dirasakan bukan semata salah kita tapi bentuk
ketidaksetaraan. Karena salah satu pihak merasa superior dan berhak memimpin
atas hal apapun.
Sehingga yang pikirkan sejak awal akan memulai hubungan
dengan menjunjung nilai-nilai kesetaraan. Supaya dapat mewujudkan keadilan bagi
semua pihak dan tidak ada dominasi atau bahkan kerugian satu sama lain.
Bahan bacaan:
https://tirto.id/waspadai-pelaku-kekerasan-dalam-pacaran-dg51
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1669/waspada-bahaya-kekerasan-dalam-pacaran#
https://www.sehatq.com/artikel/kekerasan-dalam-pacaran-rentan-terjadi-kenali-tanda-dan-cari-jalan-keluarnya
0 Response to "Tidak Ada Cara Lain Terlepas dari Pasangan Abusif, Selain Menyudahi Hubungan Beracun"
Post a Comment