Saatnya Pemuda Menjadi Pahlawan Kesejahteraan Pangan
Saya jadi berpikir, tinggal di desa belum menjadikan saya hidup terbebas dari polusi. Sungai-sungai di sekitar rumah saya bahkan sudah seperti aliran kopi susu. Rasanya begitu iri ketika melihat desa Giethoorn dengan sungai jernihnya yang dijadikan jalan raya.
Rasanya akan sangat berdosa sekali jika melakukan pemerataan dan
memaksa masyarakat adat meninggalkan tanaman lokalnya kemudian diganti tanaman
komersil. Saya berpikir itu seperti obat pereda sakit yang tidak mengobati
sakit secara keseluruhan melainkan hanya sementara.
Bayangkan saja, jika tanaman lokal masyarakat adat diganti dengan
tanaman komersil yang seragam. Masyarakat akan kesulitan memproduksi hasil
tanamannya sendiri sebab tidak memiliki mesin. Misalnya saja sawit, padi,
ataupun karet.
Kita mungkin lupa bahwa nenek moyang kita dulu, bisa makan apa
saja yang mereka tanam. Seperti singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Lalu mereka
menjadikan tanaman itu sebagai makanan pokok. Tapi tanaman di Indonesia lambat
laun menjadi seragam, membuat masyarakat adat mengganti tanaman lokal mereka
dengan padi. Orang-orang jadi bilang “belum makan” kalau “belum makan nasi”.
Padahal kebutuhan karbohidrat tidak hanya dari nasi. Bisa juga di peroleh dari
umbi-umbian.
Sekarang di desa tempat tinggal saya bahkan sudah tidak ada kebun
singkong, umbi, bahkan sawah. Semua sudah berganti tanaman komersil.
Tetangga-tetangga saya yang hidupnya beruntung diwarisi ladang oleh orang
tuanya menanam karet dan sawit. Sementara mereka yang juga beruntung, tapi
tidak memiliki ladang mengadu nasibnya bekerja di kebun-kebun sawit milik
perusahaan.
Sebagian besar kebutuhan sehari-hari harus dibeli dengan uang.
Sebab sekitar rumah tidak nampak tanaman-tanaman lokal yang bisa diandalkan.
Padahal ketika masyarakat adat menanam tanaman yang langsung bisa dimakan
tentu, persoalan pangan bukanlah masalah. Mereka tak akan pusing besok makan apa.
Karena tanamannya dapat langsung diolah atau bahkan diproduksi untuk di jual
keluar daerah.
Saya sempat berpikir, sebenernya di desa saya dulu orang-orang
menanam apa sih sebelum mengenal tanaman komersil. Kalau saja setiap rumah
mempertahan tanaman yang dapat dikonsumsi setiap hari. Mungkin kehidupan kita
tidak begitu darurat pangan. Misalnya saja sayur kangkung bisa tumbuh dialiran
air bekas. Mungkin bayam yang ketika tumbuh bisa merajalela. Atau daun singkong
yang bibitnya cukup diambil dari batang. Sekadar sayur mayur saja, kita begitu
berat untuk merdeka. Memang tidak mudah.
Tapi seandainya saya jadi pemimpin, saya ingin sekali melakukan
gerakan yang berpusat pada pemuda dan masyarakat desa. Bagaimanapun juga
keberadaan mereka harus benar-benar disadari oleh semua kalangan sebagai
pahlawan kesejahteraan pangan. Ingin rasanya membuang jauh-jauh prinsip bahwa
petani bukan cita-cita yang bagus. Apa salahnya jika muda kemudian menjadi
petani. Hanya karena tangannya bergelut dengan tanah bukan berarti kotor bukan?
Kesejahteraan pangan di Indonesia memang cukup
mengkhawatirkan. Di negara yang katanya memiliki tanah surga ini. toh banyak pula
bahan pangan yang harus impor dari luar negeri. Ibaratnya kekayaan kita ini
tidak dapat dinikmati oleh bangsanya sendiri. Entah apa yang salah,
kebiasaannya, mindsetnya atau memang perlu membutuhkan penggerak untuk
memengaruhi masyarakat.
Peran generasi muda menjadi penting untuk
mendobrak gerakan yang back to nature. Kembali mensyukuri dan berdamai dengan
alam. Seperti lagu Tanam saja milik Nosstress yang liriknya “Kita harus menanam
kembali, hijau saat ini dan nanti.” Kemudian membuat gebrakan sebagai unjuk
pembuktian ketahanan pangan juga disadari penuh oleh generasi muda.
Ya buat apa sekolah tinggi-tinggi kemudian mau
sok keren tapi tidak peka bahwa kesejahteraan pangan sejatinya bertopang pada
lahan-lahan desa. Pemuda yang mindsetnya tidak ingin pulang ke desa perlahan
harus dirubah. Desa bukan saja tempat untuk dirindukan saat hari raya. Tapi desa
yang memiliki lahan itu merupakan lilin-lilin kecil yang menopang kebutuhan
pangan masyarakat Indonesia.
Beneer banget niih, untung mulai beberapa bulan terakhir setelah lulus kuliah dan fokus dirumah, aku mulai suka nanemin sayuran, bunga, dan apa saja yg bisa ku tanem. Ga tau kenapa rasanya miris bgt klu liat treen² sekarang yg berkembang di desa. 1 nanem sawiiit semua berbondong² nanem sawit karena harganya yg lumayan tinggi, setelah harga sawit anjlok mulai bingung dan mulai resaaah nihh petani sawit "laaah terus pie iki naseb petani sawit" ujar petani sawit. Begitu pula dg petani karet dan seterusnya. Bahkan sekarang ladang² dan sawah² yg dulunya di tanemin singkong, padi, terong, jangung dll, banyak yg di alih fungsikan menjadi kebon jeruuk.. Bayangkan saja sejauh mata memandaang kebon jeruk semua. ������ yaa ga bisa nyalahin juga aslinya, mungkin di desa-desa sini masih bnyak yg awam ttg manfaat menanam tanaman lokal, entah kurangnya sosialisasi atau yg penting ngikutin treen yg masih berkembang... Pengennya ada penggerak yg menggerakan mereka untuk mencintai tanaman lokal seperti dulu kala (kaya judul lagu awookawook). Yaa jujur saja aku sendiri klu soal tanaman ya masih awam hihi. Jd butuh orang yg bisa membimbing dan mengarahkan kami. Ehehehe
ReplyDeleteMungkin dikau lah yang seharusnya jadi penggerak. Ayooo semangat terus menanam, Novi!
DeleteTeringat sebuah cerita sebuah film dokumenter ada anak desa niat kuliah hanya semata-mata agar bs belajar hukum demi mempertahankan sengketa tanah yg menjadi salah satu lumbung pangan keluarganya.
ReplyDeletelangka sekali anak yang memiliki pendirian seperti ini. kini anak-anak seperti sulit menyadari keberadaan harta yang berharga di sekitarnya karena sudah terpapar gadget dan sosial media. ya meski tidak semua begitu.
DeleteSangat bermanfaat kak, izin share ya.
ReplyDeleteSiap kak, saling menebar kebermanfaatan.
Deletemaaksih sharingnya banyak problem ya dan perlu ada pemecahan masalahnya yang bisa mengena dan bermanfaat buat semuanya
ReplyDeleteasli,betul banget. anak muda harus berperan pokoknya.
DeletePahlawan sejati ta harus berdasi
ReplyDeleteSip
Delete