Mendeteksi Kekerasan Berbasis Gender
“Si Beti (bukan nama sebenarnya) katanya sering di WA loh sama Pak Bayu, suruh bimbingan. Di telpon pun pernah. Sampe kadang story nya juga suka di reply terus dibecandain, wajar ga sih?”
Batas-batas kewajaran yang sering dipertanyakan memang
semestinya perlu ditegaskan lagi. pola komunikasi dosen dan mahasiswa bimbingan
memang begitu mencurigakan jika sampai ke ranah menelpon di jam-jam yang tidak
biasa. Rasanya bukan sekali dua kali, mendengar isu seperti ini di kampus.
Bahkan saya beberapa kali memberanikan diri untuk bertanya
langsung kepada teman bersangkutan yang mengalami kejadian itu. Selain
penasaran, memang saya ingin benar-benar membuktikan jaminan keamanan menempuh
studi di jurusan yang agamis ini. jawaban-jawaban mereka cukup mencengangkan.
Ketika teman saya pernah disuruh mengantar sayur di kampus pada waktu sore,
ketika gedung dosen sudah sepi.
“Deg-degan aku, mana aku sendiri kan, sumpah takut deh.”
Kata teman saya
Saya curiga aksi-aksi yang berlindung dibalik kata keakraban
itu, justru menjurus kepada perilaku kekerasan seksual. Kekerasan seksual
adalah setiap perbuatan yang merendahkan dan menyerang terhadap tubuh,
keinginan seksual dan fungsi reproduksi seseorang, dengan memanfaatkan
kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis
kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya yang berakibat atau
dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual,
kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Yaelah, itukan cuma minta tolong nganterin sayur
apa salahnya?
Wah ingat loh! Kunci dalam kekerasan seksual itu
adanya pemaksaan, dalam kasus ini mahasiswi juga mengalami kerentanan dan
ketergantungan pada seseorang. Ia takut, tapi jika ia menolak ia malah khawatir
nanti proses bimbingannya akan dipersulit. Belum lagi mahasiswi terus merasa
tak enak hati bahkan tak nyaman jika harus ditelpon pada jam-jam larut.
Memang tidak berlebihan jika mengatakan bahwa pelaku
kekerasan berbasis gender ini merupakan orang-orang terdekat kita yang secara
publik ia dikenal sebagai pribadi yang baik. Misalnya, dosen, guru, paman,
bahkan ayah atau malah pacar. Banyak sekali bukan isu-isu kekerasan seksual
yang diberitakan, bahkan korbannya di bawah umur dan pelakunya merupakan
kerabat terdekatnya.
Data dari komnas perempuan menunjukkan, kasus kekerasan
seksual di Indonesia terus meningkat sejak 12 tahun terakhir menjadi 792%. Pada
kurun waktu tersebut, tercatat 431.471 kasus kekerasan seksual hingga akhir
2019.
Kampus atau sekolah, sebagai instansi tempat bernaungnya
orang-orang terdidik sudah semestinya mensosialisasikan bentuk-bentuk kekerasan
seksual diantaranya adalah perkosaan, intimidasi (ancaman/percobaan perkosaan),
pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan tujuan seksual,
perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan
aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penghukuman tidak manusiawi dan
bernuansa seksual, praktik/tradisi bernuansa seksual, penyiksaan seksual,
kontrol seksual, dan kontrol seksual.
Hal itu dilakukan, agar seluruh elemen civitas akademika dapat
menyadari betapa mengerikannya dampak kekerasan seksual bagi banyak orang
terutama perempuan. Memang perlu sekali rasanya perempuan belajar melawan
kekerasan berbasis gender sedini mungkin.
Kita tidak pernah tahu kapan bahaya akan mengancamnya.
Seringkali ketimpangan dan relasi kuasa membuat korban tak berani menceritakan
apa yang terjadi pada dirinya karena takut. Maka sebenarnya perempuan harus
dilatih menceritakan secara gamblang mengenai perlakuan orang lain yang
membuatnya tidak nyaman. Semisal, catcalling di jalan, perempuan sering
mengalaminya dan itu membuatnya tak nyaman. Tapi seolah hal itu tak perlu
dilebih-lebihkan.
0 Response to "Mendeteksi Kekerasan Berbasis Gender"
Post a Comment