Cerita Pernikahan Chapter 2
Selalu menyenangkan mendengar tanggapan teman-teman yang
diam-diam membaca cerita di blog ini. Ada rasa puas, bangga dan merasa berguna
karena ternyata cerita-cerita ini dapat menghibur atau menginspirasi orang.
Hal-hal itulah yang kelak menjadi bagian terpenting mengapa blog ini tetap ada.
Sebab, dukungan dan respon baik dari pembacaku yang budiman merupakan energi
positif yang membuatku terus semangat bercerita.
Maka pada tulisan ini, izinkan kembali diriku berbagi cerita
pernikahan yang masih seumur jagung ini. Aku pernah mendengar nasihat, setelah
menikah tahanlah untuk tidak bertengkar paling tidak 40 hari. Jujur, keluargaku
maupun keluarga suami tidak pernah menasihati hal itu.
Sebenarnya, aku juga tidak berharap terjadi pertikaian
setelah menikah, bukan hanya untuk 40 hari tapi juga untuk waktu yang tidak
ditentukan. Tapi ya, malang tak dapat ditolak, tetap ada hal-hal kecil yang
mengundang sebal. Kebiasaan buruk pasangan yang mulai terlihat. Bahkan
kesalahan pasangan yang rasanya butuh beberapa waktu untuk bisa memaafkannya.
Dan mungkin, pertanyaan ‘Normal Tidakkah ini?’ terlalu
klasik untuk ditanyakan. Sebab pada setiap masalah yang kita hadapi baik di
dalam pernikahan maupun bukan semestinya tidak perlu validasi apakah itu normal
atau tidak. Karena setiap masalah itu adalah sebuah ujian yang membawa
pelajaran penting. Bersama masalah itu, setiap pribadi ditempa untuk terus
bangkit, merangkak dan senantiasa ingat pada Sang Pencipta yang terkadang
sering dilena.
Sore itu, ceritanya aku minta dijemput suamiku. Aku berpesan
padanya untuk membawa dompetku. Aku memang terbiasa berangkat kerja tanpa
membawa dompet. Takut hilang karena banyak surat-surat penting ada di dalamnya.
Tapi sore itu aku hendak memakai kartu yang ada di dompet. Lagi-lagi malang tak
dapat ditolak, sampai di lobi sekolah, suamiku datang dengan tangan kosong.
Bukan karena lupa membawa dompetnya, tapi dia telah menjatuhkan
dompetku.Ia pun segera membawaku pulang sembari menelusuri jalan dan mencari
dimana dompet itu jatuh. Sebab ia yakin belum lama mengecek dompet itu masih
ada. Awalnya aku tidak panik, tapi ketika sudah dua kali bolak-balik mengamati
jalan dan kami tidak menemukan dompet ini, akupun mulai gusar.
Perasaan dalam hati sebenarnya tidak ingin menyalahkan dia,
tapi ternyata ego dan emosiku terlanjur menguasai. Akupun menyalahkannya karena
ketelodoran itu. Belum selesai menyalahkan, sudah keburu tangisanku pecah di
atas motor. Tambah kesal dengan tanggapannya yang balas menyalahkanku karena
terlalu panik dan nangisan.
“Emangnya dengan menangis dompetnya akan ketemu?” Ucapnya
dengan nada tak kalah tinggi.
Aku marah, kesal dan akhirnya ia membawaku pulang daripada
malu-maluin nangis di jalan. Kemudian ia pergi lagi entah kemana dan bagaimana
akan menemukan dompetku itu. Di rumah, aku panik, membuka hape hendak membuat
pengumuman kehilangan di sosial media. Masih berharap ada orang baik yang
menemukan dompet itu kemudian mengembalikannya padaku.
Tiba-tiba sebuah pesan berlampir foto datang dari Bu Hifni,
ia adalah partner diskusi ku di salah satu komunitas perempuan. Ia mengabarkan
bahwa temannya telah menemukan dompetku di jalan. Tak lama kemudian, si penemu
dompet menghubungiku via telepon. Menjelaskan letak rumahnya agar kami dapat
mengambil dompet itu. Dengan masih panik dan menangis aku menanggapi Mbak
Penemu dompet teman Bu Hifni.
Aku pun menghubungi suamiku yang belum pulang dari mencari
dompetku. Setelah beberapa kali menelepon dan mengirim pesan kepadanya akhirnya
dia notice kalau dompetku sudah ketemu.
“Ya Allah Alhamdulillah, maafkan suamimu yang bodoh ini
ya...” Ucapnya lewat pesan singkat disertai emoticon menangis.
Mertuaku yang saat itu ada di sebelahku juga turut bersyukur
dompetku ditemukan oleh orang baik. Hanya saja mungkin beliau sedikit kaget
karena untuk pertama kalinya melihat menantunya tersedu-sedu layaknya anak
kecil yang merengek nangis minta dibelikan boba. Hanya satu harapanku, semoa
beliau enggak kaget dan bisa memaklumi ketika ia memiliki menantu secengeng
itu.
Kemudian aku masuk ke dalam kamar dan bersujud syukur, Allah
masih mengingatkanku tentang arti ketelitian atau lebih jauh pesan tersirat
agar aku tidak lupa bersedekah. Terkadang aku begitu membenci diriku yang punya
emosi meledak-ledak. Tapi bagaimana lagi, seberapapun rasa benci itu,
seharusnya rasa cinta terhadap diri sendiri lebih besar.
Sebagai gantinya, aku tidak ingin berlarut-larut dalam
kemarahan dan rasa ingin menyalahkan terus menerus. Aku bermeditasi dan
merenungi hal-hal kecil yang kerap aku permasalahkan. Aku juga ingin menekan
emosiku bahwa nggak semua masalah bisa selesai dengan marah-marah.
Begitulah, kira-kira ujian pertama untuk rumah tangga kami. Ujian
kesabaran menghadapi diri sendiri dan pasangan. Semoga ujian selanjutnya dapat
menjadikan kami semakin dewasa dan senantiasa berprasangka baik. Sebab, Allah
akan sesuai dengan prasangka hambanya.
See you....
0 Response to "Cerita Pernikahan Chapter 2"
Post a Comment