Tanggapan Chef Juna Tentang Anak, Jadi Optimisme Perjuangan Kesetaraan Gender
Belakangan nama Chef Juna santer dibicarakan, bukan karena
kepiawaiannya dalam membuat sushi atau garangnya waktu menjadi juri master
chef. Tapi karena tanggapannya tentang keinginan memiliki anak. Seperti yang
kita tahu, Chef Juna yang sudah bertahun-tahun
dikenal sebagai juri master chef itu. Tiba-tiba dikorek hidupnya sampai
pertanyaan.
“Bagaimana soal kepemilikan anak?”
Pertanyaan itu berasal dari podcaster Deddy Corbuzier, yang
saat itu eksklusif mengundang Chef Juna untuk ditanyai ngalor ngidul tentang
kehidupan. Aku sendiri, sebagai penonton setia master chef sudah tidak asing
dengan Chef Juna. Setiap season ia kerap bergonta-ganti gaya rambut dan semakin
kesini semakin ganteng saja.
Dan FYI umur Chef Juna sekarang sudah 46 tahun. Jujur saya
sendiri juga kaget umur sudah mau setengah abad tapi gantengnya kok kayak
kutukan yang nggak ilang-ilang. Dengan begini, menjadi sebuah pembuktian kalau
ternyata orang yang katanya galak cepat tua itu tidak benar. Kurang galak apa Chef
Juna di hadapan para kontestan, tapi tiap tahun fans nya makin banyak dan makin
muda saja.
Hehehe kok malah bahas visualnya Chef Juna sih, oke kembali
ke topik.
Jawaban Chef Juna tentang kepemilikan anak inilah yang
kemudian membuat para perempuan termehek-mehek dan seketika ingin mengkloning Chef
Juna. Agar suaminya juga bisa punya pemahaman seperti Chef Juna.
“If my wife wants kids, we have kids. If my wife doesn’t
want kids, then we don’t have kids.”
“Are you the one that’s gonna be pregnant for nine
months? No, Right? How can you pressure your better half to suffer like that if
she doesn’t want it?”
Kira-kira begitulah jawaban otentik yang menjadi kekuatan
pamungkas meluluhkan hati semua perempuan yang mendengarnya. Sosok yang
terkenal garang itu ternyata punya hati yang lembut dan menyerahkan otorisasi
kepemilikan anak kepada perempuan yang menjadi belahan jiwanya.
Sekarang saya tanya, adakah laki-laki yang pikirannya egois,
sehingga ia punya cita-cita kelak jika menikah harus dilayani, pengen punya
anak banyak, dan istrinya harus bertugas mengurus rumah, anak dan suami secara
utuh?
Ada?
Banyak!!!
Saya yakin masih banyak laki-laki yang punya pikiran seegois
itu. Kehadiran pemikiran Chef Juna tentang kepemilikan anak ini jelas memberi
sumbangsih yang berarti untuk mengubah mind set laki-laki soal anak dan
pasangan. Karena popularitasnya, dia menginfluenz pemikiran merdeka itu. Dengan
begitu setidaknya perempuan bisa bernapas lega. Ternyata karakter baik yang
biasanya hanya muncul di film dan dongeng ada di dunia nyata.
Tidak menutup kemungkinan, jika perjuangan kesetaraan gender
dan konsep mubaadalah yang diinternalisasi dengan baik. Di masa depan kita
menjumpai masa pencerahan kembali. Kalau melihat sejarah perjuangan perempuan
tentu kita bersyukur, sekarang sudah bisa sekolah sama dengan laki-laki, sudah
tidak harus duduk bersimpuh atau ndodok saat akan bicara dengan laki-laki,
meskipun stigma yang menghujani perempuan masih terus berlanjut.
Sudah ada beberapa tokoh influencer yang mulai menyebarkan
virus-virus kesetaraan gender dalam relasi manusia. Bisa menjadi titik semangat
perjuangan perempuan yang lebih baik lagi. Dengan tulisan refleksi ini juga
saya berharap makin banyak orang yang tertarik dan mau memahami konsep
kesetaraan gender dan kesalingan dalam relasi manusia.
Perjuangannya memang tidak mudah, tapi kalau kita lakukan
bersama-sama mungkin juga tidak begitu sulit. Banyak hal yang dapat kita
lakukan bersama, menebarkan nilai-nilai kesetaraan gender pada orang-orang
terdekat, pada orang-orang yang dapat kita jangkau dengan kekuatan kita. Pelan-pelan
tapi pasti, laki-laki sudah harus melek kesetaraan gender supaya menjadi laki-laki
keren idaman perempuan. Lebih dari itu, laki-laki juga turut berjuang
memanusiakan perempuan. Karena kesetaraan gender sejatinya memperjuangkan
kemanusiaan.
Bukan tidak mungkin jika dalam beberapa waktu ke depan,
tipikal laki-laki idaman perempuan sudah bergeser dari yang tadinya tajir
melintir, pemilik blackcard, PNS, kerja di pertambangan, atau polisi. Menjadi
laki-laki yang memerdekakan perempuannya, menyerahkan otoritas tubuh dan
kompetensi si perempuan, membebaskan keinginan perempuannya, dan tetap bersedia
membantu kesulitan serta pekerjaan istri seperti pekerjaan domestik.
Kita membayangkan sudah tidak ada lagi kata-kata “Kamu itu
perempuan kodratnya di rumah mengurus anak dan pekerjaan domestik?” yang ada hanya “Kita
hadapi semua bersama yaa, kalau ini membuatmu senang aku akan mendukung.”
Semangat perjuangan kita masih panjang dan tetap menebar
kebermanfaatan....
Oh yaa... jangan ada yang komen “Ngefans sama Chef Juna aja
sampai segitunya, ngefans tu sama Rasulullah..”
Wah kalau ngefans sama Rasulullah mah yang pertama pastinya,
Hawong Rasulullah juga sudah mencontohkan, ia tak minta dilayani istrinya
seperti raja. Bahkan ia menjahit bajunya sendiri. Sudah jika kamu ingin mencari
pembenaran bukan di sini lapaknya ya.. Hehe
See you...
Sepakat mba tapi di Indonesia udah membudaya kalo perempuan ya ujung2nya di rumah
ReplyDeletebetul mba, internalisasi nilai-nilai patriarki sudah sangat kuat mba, bahkan oleh perempuan itu sendiri
Delete