Mengenang Kegelisahan Menjelang Pernikahan
Hari itu, aku lupa apa saja yang sedang ku gelisahkan. Tapi kalau tidak salah, aku masih terus eyel-eyelan tentang banyak hal dengan Kak Aan. Dua hari menjelang hari pernikahanku, tapi pikiranku terus karut-marut. Selalu khawatir dengan perjalanan Kak Aan dari rumahnya ke rumahku yang cukup jauh karena berbeda provinsi.
Ditambah lagi, saat itu sedang ada peraturan PSBB dalam
rangka memperlambat penularan covid di masa lebaran oleh pemerintah. Jelas aku,
keluargaku dan terlebih keluarga kak Aan ketar-ketir memikirkan berbagai
pemeriksaan di jalan. Kalian tahu sendiri persoalan administrasi di negara kita
begitu rumit dan kadang menjengkelkan.
Belum lagi soal penyakit mabuk perjalanan yang diderita oleh
kak Aan dan ibunya. Hari-hari itu hanya dapat ku lewati dengan terus berdoa.
Agar semua lancar dan dipermudah. Malam sebelum kami menikah aku sulit memejamkan
mata, sementara rumahku sudah begitu ramai dengan sanak saudara yang akan
menyaksikan pernikahanku esok hari.
Aku masih berpikir hal-hal buruk yang dialami Kak Aan ketika
menuju rumahku. Saat itu, memang keluarga Kak Aan sangat hectic, sampai jadinya
keluarga yang mengantar berkurang. Karena banyaknya persyaratan administrasi yang
harus disiapkan di jalan nanti, seperti surat keterangan negatif covid dan
lain-lain.
Masih ku ingat betul, perjuangan Kak Aan dan keluarganya
yang berangkat dari rumah dini hari menuju rumahku. Semata karena
mengantisipasi kalau saja dijalan ada cegatan dan nantinya malah nggak jadi
nikah. Saat mereka mengabarkan ‘Otw’ aku juga sulit memejamkan mata kembali.
Ku tengok ibuku di dapur sedang mengobrol dengan budeku.
Mungkin juga tak dapat memejamkan mata karena berpikir soal hal-hal lain. Aku
meminta kerokan kepada ibuku, karena merasa badan gregesi. Lah gimana nggak
gregesi dua hari menjelang pernikahan kerjaannya Cuma di kamar, tidur, makan,
gelisah, dan kadang mendengar pertanyaan-pertanyaan membagongkan dari sanak
saudara.
Pukul 06.00 Kak Aan dan keluarganya sudah tiba, tapi mereka berhenti
di rumah tetanggaku untuk sekadar istirahat dan bersiap mandi. Yah kami sudah
berjanjian untuk agenda ini memang. Aku mulai deg-degan, rasa tidak menyangka
berada di titik ini juga masih menyelimuti. Sambil mengecek perjalanan Bapak
Kandungku yang juga datang dari Lampung Timur.
Aku tidak tahu kapan tepatnya mereka tiba, tapi seingatku
pukul sepuluh semua rukun nikah sudah lengkap. Tinggal menunggu penghulu
datang. Tapi ternyata rasa gelisah tidak
berhenti sampai semua yang diharapkan telah ada, penghulu yang sudah berjanjian
pukul 10.00 harus terlambat datang karena paginya ada jadwal menikahkan orang
yang lokasinya jauh.
Aku jengkel karena kasian sama Kak Aan pasti dia udah lesu,
karena menunggu lama. Akhirnya sekitar jam setengah dua belas, rombongan
penghulu itu datang juga. Rasanya sudah jengkel tapi harus tetap anggun karena
hari ini aku jadi ratu. Pokoknya jangan bar-bar.
Hal yang sangat canggung dan pernah terbesit dipikiranku
akhirnya terjadi juga. Kala Bapak kandungku menuju meja akad. Sementara bapak
tiri dan ibuku menghilang entah kemana. Saat kami berdua sudah sah menjadi
suami istri, pakde dan ibuku sudah menjemput kami dengan linangan air mata. Rupanya
Bapak tiriku sedang menangis tersedu-sedu di kamar. Sontak aku bingung, tapi
aku paham akar permasalahannya mengapa sampai bersedih sebegitunya.
Rupanya, bapak tiriku terluka batinnya ketika bapak
kandungku tidak mengajaknya menjadi saksi pernikahanku. Aku tahu ini semua
masalah komunikasi, tapi percayalah komunikasi orang dewasa terkadang begitu
rumit untuk dipecahkan.
Cita-cita menikah dengan lancar sebenarnya sudah tercapai. Tapi
perasaan wagu masih ada, memikirkan betapa keluargaku masih perang dingin dan
belum berdamai sepenuhnya. Aku sampai tak dapat lagi meneteskan air mata,
kecuali saat aku menyalimi ibu Kak Aan. Entah mengapa hingga aku mengetik
cerita ini pun rasanya tetap sentimentil. Membuat air mataku tak dapat tertahan
lagi.
Aku berpikir bagaimana seorang ibu yang merelakan anak
laki-laki satu-satunya menikah, dan menjadikan satu perempuan lagi menjadi
bagian dari hidupnya. Mungkin jika teman-teman jeli melihat foto pernikahanku,
belum ada satupun foto beliau bersama kami. Memang Mamak mertuaku ini anti sama
foto-fotoan. Tapi aku percaya, semua itu tidak pernah mengurangi ketulusannya.
Menit berganti jam, matahari kian terik hari itu, rasa sedih
saat akad nikah harusnya kita terusnya esok hari. Sekarang waktunya menikmati
hari bahagia karena akan bertemu banyak orang yang memberi banyak doa.
Sekali lagi, aku merasa begitu bahagia menikah dengan Kak
Aan. Meskipun benar kata Mbak Kalis terkadang menikah hanya tentang menerima
kebodokan satu dan kebodohan lainnya. Kami tentu belum menjadi pasangan paling
romantis di dunia. Tapi entah dengan banyaknya hal menjengkelkan diantara kami,
justru membuat kami tidak ingin berpisah.
Hari itu, bersama teman-temanku yang setia, aku menjemput
hari paling bahagia dalam hidupku. Melegalkan hubungan manusia dengan seorang
laki-laki yang kelak menjadi teman seumur hidupku. Kami yang akan saling
membahagiakan, saling mendukung, saling membantu, saling menghibur dan saling-saling
yang lainnya sampai jadi debu.
Kami saling membenamkan lelah malam itu. Membiarkan kesedihan
yang terjadi di masa lalu dipeluk kebahagiaan hari ini. Kami seperti belajar
terhadap semua hal kekanakan yang sudah pernah terjadi, bahwa hidup sejatinya
tentang belajar mengendalikan ego sendiri. Kita memang kuat jika mengalahkan
orang lain, tapi bukankah mengalahkan diri sendiri kita jadi perkasa?
Malam itu, kami sangat berterima kasih kepada Tuhan dan
semua orang yang merestui kami. Karena akhirnya, kegelisahan yang sempat
memenuhi pikiran kini telah sirna. Kami telah membunuh ketakutan-ketakutan
kecil tentang menikah dan menyederhanakannya, tapi mulai malam itu kami juga
harus bersiap dengan hal-hal besar di depan sana.
Selamat menempuh jalan baru pasanganku...
Dari aku yang selalu mencintaimu.....
Wah selamat ya Mbak, semoga menjadi keluarga Samawa.
ReplyDeleteAamiin terima kasih.
Deleteselamat menempuh hidup baar. semoga menjadi keluarga samawa
ReplyDeleteAaamiin terima kasih
DeleteSama banget mbak apa yang aku rasain pas mau menikah kemarin, rasanya banyak kekhawatiran, lelah batin, lelah fisik..belum lagi berantem sama pasangan yang ada aja meskipun masalah kecil ples ditambah kami LDR..aduuhhhh udah deh nangis mulu yang ada.
ReplyDeleteKayaknya hal semacam ini mostly dialami oleh orang² yang mau nikah ya mbaa, duhhh emang ada aja ujiannya biar sabar
DeleteJustru kehawatiran ini bisa menjadi nilai positif loh buat pasangan kita. Notabene, kehawatiran itu tidak akan ada jika sudaha mengalami hal yang sama sebelumnya. Jadi kalau masih hawatir, berarti belum pernah nikah sebelumnya. hehehe
ReplyDeleteHaha walaupun sudah nikah, kalau mau nikah lagi juga kayaknya tetap khawatir sih haha.
Delete