Mertua
Satu kata yang cukup menyeramkan untuk dibayangkan seorang perempuan berusia awal 20-an. Apalagi punya kebiasaan bangun siang dan agak jorok. Ditambah punya pengalaman menyaksikan perseteruan mertua dan menantu di keluarga sendiri.
Rasanya fakta tersebut sudah cukup menjadi alasan mengapa
sosok mertua adalah salah satu yang menakutkan bagiku. Belum lagi tentang
omongan teman-teman yang sudah terlebih dahulu menikah, bahwa sebaik-baik
mertua tetap saja bikin tidak nyaman. sementara segalak-galaknya ibu sendiri,
pasti kita tetap nyaman-nyaman saja.
Lengkap sudah distraksi itu membuatku sangat overthinking
dengan kehidupan setelah menikah.
Kan bisa tinggal terpisah dengan mertua setelah menikah?
Benar. Tinggal terpisah dengan mertua mungkin adalah
cita-cita sebagian besar pasangan yang akan dan sudah menikah. Tapi terkadang,
tidak semua hal ideal akan terjadi dihidupmu, akan ada beberapa alasan mengapa
cita-cita itu harus diraih mati-matian atau justru kita menyerahkan diri pada
keadaan. Dan itu semua juga belum tentu buruk.
Mulai dari situlah, kisahku tentang mertua akan dimulai. Aku
menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki yang merupakan anak bungsu. Orangtuanya
tinggal satu, dan itu adalah ibunya. Tentu berat bagi seorang anak laki-laki
bungsu meninggalkan ibunya seorang diri setelah menikah.
Apalagi sudah ada pesan dari kakak-kakaknya untuk menjaga
ibunya kelak. Pergolakan batin untuk menerima fakta-fakta itu pasti tidak mudah
bagiku. Dengan segala keinginan dan rencana-rencana kehidupanku, aku dihadapkan
pada sebuah kebimbangan. Tetap bertekad punya keinginan hidup terpisah dengan
mertua atau menyudahi hubungan asmara ini.
Maka dari situlah pelajaran tentang memaklumi juga dimulai. Aku
juga mulai percaya tentang hal-hal yang tadinya kita anggap menakutkan
sebenarnya tidak begitu aslinya. Di sisi lain, ibuku yang dulu juga punya
beberapa pengalaman kurang mengenakkan tentang mertua, terus menyemangatiku
agar tidak terlalu takut.
“Tidak semua mertua menyebalkan, percayalah,” ucapnya suatu
hari.
Berbekal keyakinan positif itulah, kini aku mampu menjalani
kehidupan berdampingan erat dengan mertua. Menyadari sepenuhnya bahwa mertua
yang baik memang ada, bahwa gambaran mertua menyebalkan yang sering jadi
tontonan dalam sinetron itu juga tidak sepenuhnya benar.
Memang benar jika akan ada hal-hal yang menjadi perbedaan
dan ketidakcocokkan. Itu adalah hal yang wajar antara mertua dan menantu. Bagaimana
akan sama, namanya saja hidup dengan kebiasaan yang berbeda, sudah pasti akan
ada perbedaannya. Tinggal bagaimana sikap saling menghargai dipupuk dan
dilestarikan.
Mertua sejatinya juga manusia biasa, yang dulunya pernah
mengalami jadi menantu. Paling tidak ia punya empati untuk memaklumi bagaimana
seorang menantu harus menyesuaikan diri di tempat baru.
Keputusan mau menerima kenyataan tentang hidup dengan mertua
setelah menikah ternyata tidak seburuk yang ada dalam pikiran. Justru kita
dapat saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaan domestik. kita juga dapat
berbagi pengalaman tentang kehamilan, menyusui dan mengasuh anak. Banyak hal
menarik yang dapat dilakukan.
Dulu sebelum menikah, aku selalu rutin memasak. aku suka
memasak untuk diriku sendiri dan itu aku anggap sebagai healing ditengah-tengah
kesibukan pekerjaan. Namun, semenjak menikah aku jadi jarang memasak lagi,
karena mertua ku tidak pernah absen memasak untuk kami. Tapi, anehnya aku tidak
merasa kehilangan healingku.
Aku segera menemukan healingku yang baru, seperti belajar
make up, menonton film dan drakor, berolahraga, menulis dan membaca buku. Aku juga
tidak keberatan menyesuaikan selera makanku dengan masakan ibu mertuaku. Karena
toh, jika memang benar-benar tidak aku suka, aku masih bisa membeli makanan
lain atau memasak sesekali.
Aku rasa ibu mertuaku juga tidak akan tersinggung jika
sesekali aku jajan di luar atau sekadar memasak sambal yang benar-benar
seleraku.
Teruntuk teman-teman diluar sana yang masih takut dengan
ekspektasi mertua. Mungkin cerita ini dapat menjadi hiburan untuk kalian,
supaya rasa takut itu sedikit terobati. Memang tidak bisa disamakan antara
mertuaku dan juga mertuamu kelak.
Percayalah, memahami karakter mertua sama halnya dengan
memahami pasangan kita. Kita harus saling pengertian. Berusaha membaca maksud
dari sikapnya terhadap kita. Tidak perlu terburu-buru merasa rendah diri dengan
segala kekurangan kita. Fokuslah pada kelebihan saja.
Ibu mertuaku orangnya cukup pendiam, tidak banyak bicara,
taat peraturan dan terbiasa dengan hidup yang aman-aman saja. Sangat berbeda
denganku yang orangnya suka berbicara, suka keramaian, suka bercerita dan tidak
terlalu taat peraturan. Aku sempat berpikir kalau saja aku punya mertua yang
setipe denganku mungkin akan lebih mudah.
Tapi kembali lagi, aku harus mensyukuri perbedaan itu. Bukankah
gesekan-gesekan kecil juga akan lebih sering terjadi dengan orang yang satu
frekuensi. Keahlian dalam menyesuaikan diri memang sangat diuji saat kita
berperan sebagai menantu dan mertua. Maka dua-duanya juga penting untuk belajar
menerima perbedaan itu.
Semoga bermanfaat.
hahahaha terkadang ekspektasi tak sesuai realita. Mungkin bagi sebagian menantu, khususnya perempuan. sosok mertua tu bak momok yang menakutkan. Padahal yang membuatkan menakutkan itu adalah fikiran mereka sendiri.
ReplyDeleteIya masalah kesiapan dan kesanggupan untuk belajar adaptasi gitu ya
Delete