Catatan Seorang Guru di Hari Guru Nasional
25 November 2021
Semalam, saya kasak-kusuk gelisah tentang banyak hal. Tentang rencana pertemuan yang begitu saya impikan juga tentang deadline pekerjaan yang tak kunjung terbilang usai.
Mengeluh soal pekerjaan menjadi guru rasanya jadi hal remeh temeh untuk dipamerkan sebagai penderitaan. Karena memang banyak pekerjaan yang lebih melelahkan di luar sana.
Sementara hari ini adalah Hari Guru Nasional, saya berusaha mencari momen, turut menyemaraki semangat perjuangan pendidikan, dan berulang kali mencoba terus menerus memberi afirmasi pada diri sendiri tentang pentingnya perayaan ini.
Meskipun, entah mengapa, saya juga tidak begitu merasa special kendati sekarang dapat mengklaim diri sebagai guru.
Padahal kalau mau memilih, banyak sekali pilihan yang dapat saya pilih untuk merayakannya. Meneladani sejarah perjuangan pendidikan, interospeksi diri selama menjadi pendidik, memikirkan rencana terdekat untuk berperan lebih aktif sebagai pendidik atau memasang twibbon Hari Guru beserta quotes penyemangat.
Tapi entah kenapa, belum ada keinginan untuk memilih opsi-opsi yang sebetulnya saya sediakan sendiri itu.
Ada banyak kebimbangan yang berkelebat dalam kepala saya. Tentang betapa cacatnya peran-peran saya sebagai pendidik dan tentang penatnya saya menjadi pendidik.
Dua hal yang sangat tidak ingin saya tampilkan sebagai seorang pendidik. Tapi, setidaknya saya memang ingin jujur pada diri sendiri, bahwa mendidik itu bukan persoalan mudah. Maka wajar bila saya bicara tentang rasa lelah.
Saya tidak ingat berapa banyak malam yang saya habiskan untuk merenung tentang hari-hari menjadi guru. Tentang kesibukan administratif yang sering menggerus waktu berharga bersama peserta didik.
Saya bisa terisak bercerita soal ini, bagaimana sistem telah memaksa kami, untuk bekerja seperti makanan protein kaum proletar. Istilah lama yang sering kita dengar, “Isuk tempe sore dele”.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan besar muncul dari kepala saya sendiri. “Apakah saya tidak pantas jadi guru?” Barangkali pertanyaan itu juga muncul di kepala teman-teman saya di fakultas pendidikan. Atau sebagian besar guru yang kita anggap sukses di luar sana juga pernah menjumpai pertanyaan serupa pada pikiran mereka sendiri, sama seperti saya.
Pada titik itulah, saya akhirnya memahami betapa ringkih keteguhan saya. Betapa tipis nyali saya untuk bertarung mengambil resiko di depan sana ketika menapaki tahun kedua bekerja di instansi pendidikan.
Betapa lemah iman saya terhadap hal-hal menyilaukan di luar sana yang sekarang di mata saya terlihat indah dan menakjubkan.
Untuk pengalaman mengajar yang masih berusia kecambah, saya juga sebetulnya cukup malu menulis ini. Kenapa saya menjadi orang yang gemar mengeluh. Namun, saya tetap ingin berkata jujur tentang apa yang saya rasakan.
Terkadang, saya akan menganggap segala hal menyusahkan ini karena diri saya yang kurang bersyukur, tidak ikhlas dan masih begitu pamrih. Kemudian, saya akan mengutuk diri sejadi-jadinya karena segala keterbatasan saya.
0 Response to "Catatan Seorang Guru di Hari Guru Nasional"
Post a Comment