Refleksi Tahun 2021
Tahun ini terasa begitu panjang bagi saya. Banyak hal-hal besar yang terjadi dalam hidup saya. Salah satunya menikah. Tahun yang saya lalui dengan beberapa kecemasan akut hingga rasa lega dan bahagia yang bercampur jadi satu. Mungkin dunia yang saya jalani menjadi lebih baik, tapi saya khawatir dunia yang jauh tapi terasa dekat sekali dengan saya juga makin mencekam.
Saya bingung, apakah ini hanya perasaan saya, atau karena
sebelumnya saya tidak memiliki empati yang cukup besar, karena saya merasa
tahun ini saya sangat bersedih karena banyak sekali kasus kekerasan seksual
menimpa perempuan. Saya tidak paham, apakah kasus ini terlihat banyak karena di
tahun-tahun sebelumnya saya belum punya empati yang besar terhadap isu ini, atau karena di tahun-tahun sebelumnya belum banyak terungkap kasus ini.
Di sisi lain, ada rasa semangat, ketika netizen saat ini, punya
geliat gotong royong yang cukup besar di sosial media. Ketika suatu kasus dibungkam, netizen
akan beramai-ramai mengunggahnya di
media sosial hingga viral. Hal yang cukup menggembirakan melihat solidaritas
seperti ini.
Tapi di sisi lain, keadaan hukum bangsa ini juga rasanya
semakin abai dengan suara masyarakatnya sendiri. Berbagai petisi yang dilakukan
seolah hanya dianggap angin lalu atau kicau suara burung yang tidak ada
artinya.
Bersamaan dengan itu, saya sedang membaca novel yang
berlatar belakang sejarah kelam negara ini. Peristiwa penculikan mahasiswa pada
tahun 1998 dan geger 1965. Membandingkan situasi sekarang dengan kisah yang
saya baca, sepertinya ada irisan yang tercipta. Ada kesamaan suasana, ketika
suara rakyat terdengar begitu lirih.
Misalnya, demonstrasi yang menuntut pembatalan undang-undang cipta
kerja sudah sedahsyat apa, tapi respon pemerintah begitu santai dan tetap
berjalan mengesahkan UU tersebut seperti
tengah bersaing dengan suara masyarakatnya sendiri. Siapa cepat dia yang
menang. Salahnya jadi rakyat jelata, makanya langkahnya pendek. Sudah terima
nasib saja. Seolah-olah begitu. Ah kenapa saya emosi ya? Entahlah.
Giliran masyarakat menuntut untuk segera menyesahkan UU
Perlindungan Kekerasan Seksual. Respon pemerintah begitu lamban. Hingga jungkir
balik, stress, menghadapi kasus kekerasan seksual semakin meningkat belum juga
dilirik. Rasanya pengen bertanya, mau nunggu berapa banyak korban? Lantas apa
bedanya kekejaman seperti ini dengan sejarah kelam menjelang reformasi?
Tulisan ini, tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun. Tulisan
ini murni keresahan penulis secara pirbadi, sebagai masyarakat sipil yang
setiap hari membaca berita tidak mengenakkan di negeri ini. Tulisan ini boleh
dibaca dan boleh tidak di baca. Karena jangankan tulisan ini, hawong demonstran
yang teriak-teriak di dekat telinga saja tidak didengar.
Hanya saja, penulis khawatir orang-orang di masa depan kesulitan mencari apa saja yang pernah terjadi di tahun ini. sehingga, barangkali tulisan ini menjadi remah-remah yang dapat dijadikan satu bagian kecil yang menggambarkan situasi sosial budaya pada tahun 2021 dari kaca mata seorang masyarakat sipil.
Sebut saja kasus,
Ayah memperkosa tiga putrinya, hingga alat kelamin korban
mengalami gangguan. Ibu mengadukan kasus ini tetapi pihak kepolisian enggan
melanjutkan penyelidikan. Intinya diminta damai. Media yang memberitakan kasus
ini diretas. Tapi media lain bersolidaritas menyebarkan kembali berita ini
secara masif di dukung netizen yang menyebarkan secara bersamaan berita ini.
Kemudian, seorang mahasiswi bunuh diri karena dipaksa aborsi
oleh pacar dan ibu sang pacar. Sementara keluarga mahasiswi menyarankan agar
mahasiswi berdamai saja. Sampai sang mahasiswi bunuh diri di makam ayahnya,
entah seberapa besar tekanan yang ia rasakan sampai mengantarkan dia untuk
menyudahi hidupnya.
Ada lagi, seorang ustadz sebuah Boarding School memperkosa
belasan santrinya hingga hamil. Dengan dalih membuka beasiswa untuk anak tidak
mampu tapi dibalik niat mulianya tersimpan niat bejatnya. Bahkan sampai ada
yang hamil, kemudian anaknya juga dimanfaatkan sebagai kuli untuk membangun
boarding schoolnya.
Seorang anggota polres menghamili istri narapidana, entah
menghamili entah memperkosa, tapi yang jelas ia dihukum 21 hari bui. Kayaknya
emang harus dikasih standing aplause buat negeri dongeng satu ini. Hebat banget
konfliknya.
Terus apalagi nih kasus ditahun 2021 yang pantas kita
rayakan lagi? Maksudnya dirayakan dengan kesedihan ya bukan kegembiraan hehe.
Pada titik lelah saya, sembari menyamakan tahun ini dengan
tahun-tahun reformasi (atau ini hanya saya yang lebay karena mendramatisir
keadaan, ah entahlah, pokoknya ya bodo amat ini kan memang refleksi saya), Saya cuma
berharap, di masa depan ada semacam pencerahan, sampai kemudian negara ini
benar-benar menegakkan keadilan.
Hukum yang berlaku tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena
pada tahun-tahun kelam waktu itu, dikisahkan, mereka yang berada disituasi
ketakutan bergerak, pernah punya pikiran apakah negaranya di masa depan dapat
merasakan demokrasi yang seutuhnya. Meskipun mereka tidak pernah sempat
mencicipi negara demokrasi yang seutuhnya itu.
Sama seperti saya, meskipun dimasa depan saya tidak sempat
mencicipi keadilan hukum, terutama pada isu-isu perempuan, saya berharap anak
cucu saya akan menjalani kehidupan dengan hukum yang adil. Sehingga saya tidak
perlu khawatir terutama pada anak dan cucu saya yang perempuan.
Hla kalau dipikir-pikir, dengan berita-berita kekerasan
seksual belakangan ini. orang tua mana yang tidak ketar-ketir memiliki anak
perempuan? Sudah pasti rasa cemas juga menulari mereka, bahkan yang belum pernah
mengalami. Kalau yang belum pernah mengalami saja cemas, apalagi orangtua
bahkan korban yang mengalaminya. Berapa kali lipat kecemasan dan ketakutan yang
mereka alami?
Saya juga berharap, masyarakat makin cerdas memperlakukan
penyintas kekerasan seksual ini. sekarang, masih banyak stigma negatif yang
melekat pada perempuan yang mengalami musibah kekerasan seksual. Misalnya mendapat
pertanyaan, pakaian seperti apa yang dikenakan, apakah menikmatinya, kapan
peristiwa itu terjadi, malam atau siang dan sederet pertanyaan seksis lainnya
yang ujung-ujungnya menyudutkan korban.
Tahun 2021, kita berjuang bersama melawan virus, di tahun
ini pula banyak kejadian yang bikin geregetan. Koruptor yang dihukum ringan, UU
cipta kerja yang mencekik buruh dan karyawan sampai berbagai kasus kekerasan
seksual yang membawa traumatis besar pada masyarakat.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat biasa?
Menurut saya pertama-tama adalah mengubah sudut pandang,
bagaimana kita melihat suatu kasus tapi juga tidak jadi sok pintar di semua
bidang. Kemudian, perlu mempertajam empati sehingga jari-jari yang kita gunakan
ketika bermedia sosial juga tidak menjadi sumbangsih hate speech.
Terakhir, turut serta mengajak orang-orang sekitar untuk
memahami kembali isu yang terjadi. Misalnya isu kekerasan seksual, perlu
rasanya memahamkan orang-orang bahwa hal ini terjadi bukan semata karena
pakaian korban. Karena yang pakaiannya rapat pun juga masih kena. Begitu seterusnya.
semoga di tahun yang akan datang lebih baik lagi
ReplyDeleteAaaminn kita selalu menaruh harapan pada setiap pergantian tahun, semoga harapan baik terwujud satu per satu.
Deletesama kak aku juga sedih baca berita berita ini 😔
ReplyDeleteaku bahkan sampe nangis pas pertama kali baca berita kekerasan seksual ini, kayak kok bisa oknum gila brengs*k itu tega ya 😭 *maaf kasar udah kelewat kesel 😭