Tetap Berdampak Bagi Lingkungan di Bulan Ramadan
Salah satu hal yang dapat saya syukuri tahun ini adalah dapat bertemu kembali dengan bulan ramadan. Bulan yang selalu kami nantikan para umat muslim ini. Ada banyak cerita tentang bulan ramadan yang selalu kami yakini sebagai bulan yang penuh berkah dan kebaikan.
Ramadan kali ini merupakan ramadan kedua setelah saya menikah. Namun, tidak banyak yang kami agendakan pada bulan ramadan kali ini sebagai pasangan. Saya ingin mengajak suami untuk fokus beribadah dengan sebaik-baiknya. Ceileh.
Intinya, ramadan ini tidak ingin terlalu berambisi terutama untuk agenda buka bersama atau kegiatan hura-hura lainnya. Pengen slow living saja dan memanfaatkan waktu yang ada untuk melakukan kebaikan-kebaikan kecil. Supaya nanti tidak begitu menyesal saat bulan ramadan beranjak pergi.
Saya jadi rutin mendengarkan ceramah di masjid dekat rumah dan selalu bersemangat pergi terawih. Apalagi saat mendengarkan kultum setelah salat terawih. Ada satu kalimat sang khatib yang selalu membekas dalam ingatan saya sewaktu mendengar kultum saat terawih hari kedua."
"Bagaimana nikmat berbuka puasa hari ini bapak-ibu? apakah takjil yang sudah kita siapkan habis termakan? Kadang kita seperti itu ya bapak-ibu, sebelum buka rasanya semua ingin dimakan, giliran waktu berbuka tiba, minum es segelas dan satu, dua gorengan saja sudah kenyang, begitulah hawa nafsu bapak-ibu." kata Pak Ustaz.
Kalimat yang bikin saya jadi mak nyes, tersindir gitu. Selama ini, sering mempersiapkan menu berbuka puasa beraneka ragam. Nanti ujung-ujungnya tidak habis karena sudah kenyang. Sayang sekali akhirnya terbuang sisa-sisa makanan. Padahal, di luar sana, mungkin banyak orang yang nggak bisa berbuka puasa dengan menu yang cukup baik.
Hari itu saya tersadar akan pentingnya mengendalikan hawa nafsu. Apalagi jika dampak tidak terkendalinya hawa nafsu ini jadi melebar keman-mana. Ketika kita selalu membuang sisa makanan yang cukup banyak, sisa makanan itu akan menghasilkan gas metana. Sementara gas metana berdampak buruk bagi lingkungan, bahkan lebih parah dari karbondioksida.
Tiba-tiba saja saya jadi merasa makin berdosa. Puasa hari berikutnya saya mengatakan kepada suami untuk memilih satu sampai dua menu saja, untuk takjil, dengan jumlah yang secukupnya. Jika memiliki bahan yang cukup banyak, bisa dibuat lebih banyak dan dibagikan ke tetangga.
Saya jadi ingat beberapa tantangan Team Up For Impact Everyday. Beberapa diantaranya sangat dekat sekali dengan kehidupan kita, bahkan kehidupan beragama. Saya jadi membayangkan apabila dakwah-dakwah yang disampaikan dalam majelis-majelis dimasjid juga disampaikan tema-tema lingkungan yang berhubungan dengan agama seperti ini. Mungkin, akan lebih banyak kesadaran tentang pentingnya menjaga bumi.
Agama saya sendiri, agama Islam, sebenarnya juga menginginkan manusia menjaga buminya dengan baik. Bahwa membuat kerusakan dimuka bumi adalah perbuatan mungkar yang harus dihindari. Apalagi bulan ramadan biasanya kita makin konsumtif. Menyebabkan sampah yang kita hasilkan setiap harinya juga bertambah.
Setiap sore, mungkin ingin beli takjil. Bisa dibayangkan setiap pembelian takjil itu berapa banyak kemasan makanan yang kita bawa pulang ke rumah.
Lewat tulisan ini saya ingin mengajak teman-teman pembaca untuk ikut serta dalam Team Up For Impact yang sebenarnya dekat sekali dengan kehidupan kita. Mungkin rasanya berat, tapi jika dilakukan bersama semoga kita bisa menjadi lebih semangat.
Tetap Berdampak Bagi Lingkungan di Bulan Ramadan dengan 5 Challenge Berikut ini:
1. Membuat Makanan Secukupnya
"Buat makanan kok pas-pasan gitu sih, pelit amat."
Mungkin ada sudut pandang yang menganggap masak pas-pasan itu seperti orang yang pelit. Padahal masak atau membuat makanan pas-pasan itu upaya untuk meminimalisir sampah.
Pernah dengar tidak kalimat seperti ini?
"Jangan buang-buang nasi, nanti nasinya bisa nangis."
Kalimat yang sering saya dengar dari orang tua. Kalau saya pikir-pikir lagi, kalimat itu dalam sekali maknanya. Tentang kita yang tidak diperkenankan menyia-nyiakan makanan yang sudah ada. Mungkin para orang tua tidak memberikan nasihat tentang lingkungan dan kelestarian alam.
2. Habiskan Makanan di Piring
Pernahkah teman-teman mendengar nasihat seperti di bawah ini?
"Ayo makanannya dihabiskan, nanti kalau nggak habis, ayamnya mati lo."
Ada banyak sekali nasihat orang tua tentang menghabiskan makanan dipiring. Mungkin tujuan awalnya agar seorang anak paham bagaimana sulitnya mendapat sepiring makanan. Tapi, jika mau memikirkan maknanya lebih dalam. Makanan sisa dari piring kita sudah tidak mungkin diberikan kepada orang lain.
Sudah pasti sisa makanan dipiring kita akan berakhir di kotak sampah. Sayang sekali. Sayang makanannya dan tentunya sayang buminya juga. Karena sisa makanan yang terbuang itu akan menghasilkan gas metana dan menyumbang polusi udara.
3. Makan Makanan yang Tidak Meninggalkan Sampah
Siapa yang suka makan telur?
Telur merupakan salah satu makanan yang tidak menyisakan sampah yang berarti. Adapun cangkang telur, meskipun tidak dapat dikonsumsi dapat dijadikan sebagai pupuk bahkan alat untuk membersihkan perkakas dapur secara alami.
Saya suka sekali denga telur. Protein yang cukup terjangkau untuk kaum proletar. Telur menjadi satu-satunya protein yang familiar di kalangan anak kos. Rasa telur juga enak dan yang paling penting ia kaya akan gizi juga.
Barangkali masih ada beberapa bahan makanan yang minim sampah. Seperti terong, kacang panjang, buncis, kentang, wortel dan kol. Wah jadi pengen bikin sayur sop dan terong balado nih. Hehe.
4. Belanja di Pasar Pagi atau Pasar Basah
Jujur setelah menikah saya cukup menikmati peran domestik. Apalagi saya sudah mempelajarinya sejak menjadi anak kos. Tapi kali ini, saya juga tidak ingin menjadi korban beban ganda. Saya selalu mengajak suami untuk turut membantu peran-peran domestik. Salah satunya pergi ke pasar pagi untuk membeli sayuran dan kebutuhan dapur lainnya.
Sejak ngekos, saya sudah sering pergi ke pasar pagi-pagi di hari sabtu atau minggu. Saya biasa membuat food preparation. Alhamdulillahnya, hal itu juga sangat menyenangkan bagi saya. Saya suka makan, suka masak, dan suka belanja segala kebutuhan dapur di Pasar pagi atau Pasar Tradisional. Rasanya seperti healing sederhana.
Nah, saya juga baru tahu kalau ternyata belanja di Pasar Tradisional ini bisa menjadi aksi sayang lingkungan. Kok bisa?
Katanya, belanja di supermarket dapat membuat kita belanja lebih dari yang kita perlukan karena tergiur oleh tampilan yang menarik. Terkadang hal itu membuat kita membeli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu kita butuhkan. Dengan belanja di Pasar Basah atau Pasar Pagi dapat membantu kita menahan diri dengan hanya belanja yang kita butuhkan saja.
5. Tidak Membeli Makanan dan Minuman dalam Kemasan
Ini mungkin terdengar sulit, karena generasi kita tuh doyan banget sama yang namanya jajan. Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin kan? Saya dan suami pernah men-challenge diri kami untuk tidak jajan selama sebulan. Alasannya supaya lebih hemat dan dapat menghargai makanan yang ada di rumah.
Saat itu, ketika menginginkan suatu makanan, saya coba bikin di rumah. Atau jika tidak bisa buat ya menahan diri untuk tidak membelinya. Terkesan pelit dan menyiksa diri ya? Tapi rasanya senang sekali loh, ketika diakhir kita tahu bahwa diri kita bisa menahan diri seperti itu.
Toh, jajanan di luar belum tentu sehat juga kan?
Kita juga dapat membawa botol minum kemanapun kita pergi, untuk meminimalisir pembelian minuman kemasan. Sekaligus menghemat pengeluaran juga. Meski awalnya terasa aneh dan berat. Ketika sudah terbiasa, rasanya justru ada yang hilang jika pergi tidak membawa botol minum. Yuk mulai sekarang, bawa botol minum kemanapun kita pergi!
Itulah 5 Challenge yang udah aku ikuti dan aku usahakan. Masih banyak sekali challenge yang dapat kita ikuti di sana mulai dari mengelola sampah, makanan, digital, energi, bisnis hijau, dan lain-lain.Yuk ikuti juga challenge lain yang ada di Team Up For Impact supaya kita tetap bisa berdampak bagi lingkungan di bulan ramadan ini.
Masih jadi PR banget lho mba sampah sisa makanan ini. Bener banget, harusnya kita lebih wise dan bertanggung jawab terhadapa makanan sendiri. Ambil secukupnya dan jangan menyisakan makanan. Kalau emang ada sisanya, belajar mengolah sisa makanan tersebut hehee.
ReplyDeleteKarena kalo puasaan suka laper mata ya.. Pas belum buka tu pastinya pingin makan ini itu.. Tapi pas buka malah akhirnya ga kemakan.. Mulai sekarang emang harus bisa menakar seberapa banyak makanan yg bisa dimakan biar nantinya nggak menghasilkan sampah makanan
ReplyDeletePadahal esensi ramadhan adalah menahan hawa nafsu, tapi koq ya sampah tiap ramadhan mesti naik 10% . Salah satunya karena suka belanja takjil itu ya Mba, auto nyampah kalo gak bawa wadah dari rumah
ReplyDeleteSama Mbak Rin, aku juga sedang struggling meminimalisasi sampah dengan memikirkan bahan makanan yang diolah tuh harus seminimsl bgt sampahnya. Di rumah jg udsh iktiar kompos dan ecoenzym bismillah yaa semoga kita bs menjaga bumi ini
ReplyDeleteSeneng sekali dapat reminder untuk bisa sabar dan bijak dalam kelola makanan, terutama saat Ramadan begini. Pas sebelum buka puasa, rasanya semua nikmat dan ingin dicoba. Namun sebenernya, kita gak sebanyak itu juga makannya ya.. Jadi lebih baik menyederhanakan keinginan. Senang sekali dapat insight sekaligus mengikuti team up challenge.
ReplyDeletesejak pandemi, aku juga mulai menggeser process food ke raw/real food, ternyata emang lebih sehat dan bagus buat kulit loh mba, ternyata bisa jadi aksi jaga bumi juga yaaa
ReplyDelete