Nagih Utang Bareng-bareng, Kenangan Sekolah Paling Aneh Tapi Seru
Kalau ngomongin soal kenangan sekolah pasti banyak banget keseruannya. Memang benar kata orang, masa putih abu-abu adalah masa-masa yang indah dan tak terlupakan. Mulai dari pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta, melakukan hal-hal aneh di luar nalar bareng sahabat, sampai yang paling aneh itu nagih utang bareng-bareng. Anak SMA udah punya utang aja nih? Itu anak SMA atau bapak-bapak habis kalah judi?
Jadi begini ceritanya. Waktu kelas sepuluh. Beberapa teman sama, yang semuanya perempuan itu sepakat bikin arisan. Nominalnya dua ribu rupiah. Arisannya mingguan. Tapi ada yang ikut dua bahkan tiga nomor. Yang jadi bandarnya itu teman dekat saya, sebut saja namanya Sonem dan Isti.
Dari awal kami nggak pernah curiga sama Sonem. Orangnya kelihatan teliti, cak cek, dan paling rapi catatannya. Kelemahan Sonem cuma satu, dia masih kelas sepuluh tapi sudah bucin sekali dengan pacarnya. Sebut saja namanya Sumadi. Emang ganteng sih Sumadi ini. Tipe cowok baby face, kulit bersih, cool, dan kalau ngobrol humoris. Pantas saja Sonem termehek-mehek.
Kembali lagi ke topik arisan, Sonem berperan sebagai pembawa cangkir yang berisi kocokan arisan. Maklum zaman itu kita belum mengenal tools wheel of name. Jangankan wheel of name, hape saya saja mito yang speakernya setara sama sound dangdutan orang hajatan.
Kami nggak pernah menaruh curiga kalau ternyata yang dapat arisan Sonem terus sampai tiga kali berturut-turut. Usut punya usut Sonem mengganti semua nama di kertas gulungan dalam cangkir menjadi namanya. Waktu tahu ini sebenarnya saya dongkol bukan kepalang. Karena saya merasa paling dekat dengan Sonem dibanding dengan teman-teman yang lain. Seketika saya merasa telah salah betul menilai orang.
Tapi apakah permasalahan berhenti sampai di situ?
Jawabannya tidak teman-teman.
Setelah kejadian itu Sonem meminta maaf dengan tulus. Sebagai teman yang baik kami semua memaafkan Sonem. Dia bilang memang sedang butuh uangnya. Orang tuanya sedang ada masalah juga. Tapi saat itu kami tidak menyadari kalau Sonem paling royal jajan di kantin sekolah.
Tapi yasudahlah, sekarang Sonem sudah nembus semua arisannya. Anggap saja Sonem memang nembus duluan dan dia tinggal bayar arisan sampai semua anggota arisan nembus juga. Tiba-tiba uang arisan pada kocokan selanjutnya hilang. Tidak tahu siapa yang mencuri. By the way, bandar arisan yang bawa uangnya ini teman sebangku saya namanya Isti. Isti itu rajin, polos dan bisa saya pastikan dia tidak akan menilap uang itu.
Ketika terjadi huru-hara seperti itu, Sonem sering sekali izin sekolah. Terkadang tanpa keterangan pula. Ketika itu, kami juga tidak begitu intens berkomunikasi lewat handphone. Kalau saya sendiri lebih sering tidak punya pulsa.
Entah bagaimana ceritanya, saya sedikit lupa. Sonem mengakui kalau dialah yang mencuri uang arisan itu. Ketika dia mengambil uang arisan itu dari tas Isti, saya juga ada di lokasi. Sonem tertawa karena saya tidak mengetahui ketika dia mengambil uang. Dia bangga tidak ketahuan oleh saya. Rasa dongkol saya semakin menjadi-jadi.
Intinya dia terpaksa mengambil uang itu karena benar-benar tidak punya uang. Sonem berjanji akan mengembalikan uang itu segera setelah dia punya uang. Hari-hari setelah pencurian itu Sonem sering izin sekolah. Pasti karena takut belum bisa bayar uang arisan yang dia curi.
Suatu hari, ada agenda rapat guru dan kami dipulangkan lebih cepat dari biasanya. Kami bertujuh yang kala itu baru saja membentuk geng bernama Twins berencana nekat datang ke rumah Sonem. Menurut kami itu adalah hari yang sangat tepat, karena kalau pakai hari lain belum tentu diizinkan orang tua. Rumah Sonem paling jauh di antara teman-teman kami sekelas.
Dia tinggal di camp perkebunan sawit. Jaraknya lumayan jauh dari sekolah kami. Jalan menuju camp-nya juga cukup beresiko karena melewati berhektar-hektar perkebunan sawit. Makanya kami nekat datang ramai-ramai. Kami sudah membayangkan skenario paling jitu untuk menagih hutang kepada Sonem. Kami telah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dan bagaimana supaya Sonem membayar hutangnya hari itu juga.
Tapi rencana ini tercium oleh Sumadi, pacar Sonem. Sumadi berusaha menghalangi kami katanya jalan menuju camp rawan dengan rampok. Sebenarnya itu bukanlah bohong. Memang di kebun-kebun sawit sering ada rampok maupun begal. Tapi kami percaya diri karena kami rame-rame.
Semua upaya Sumadi untuk menghalangi niat kami runtuh begitu saja. Satu laki-laki lawan tujuh perempuan. Oh iya saya lupa cerita kalau Sumadi juga tinggal di camp yang sama dengan Sonem. Makanya dia berusaha menghalangi kami. Karena kami bertujuh nekat berangkat. Awalnya kami berniat bertanya ke orang-orang yang lewat untuk tahu letak camp rumah Sonem. Tapi di jalan, Sumadi yang berusaha mengikuti kami malah jadi pengarah ke rumah Sonem.
Sesampainya di camp tempat tinggal Sonem. Kita semua dibuat terkagum-kagum sama rumah-rumah di sana. Semua rumah punya tanaman yang cantik-cantik dan subur-subur. Rumah Sonem depannya banyak tanaman sayuran seperti cabai, terong, kacang, yang buahnya banyak sekali. Tetangga Sonem punya banyak bunga yang warna warni cantik. Kita semua belum pernah melihat rumah serapi dan seindah di rumah-rumah camp ini.
Komplek camp-nya juga dilengkapi dengan tempat olahraga yang menurut penilaian kami bagus. Ada juga taman yang dipenuhi bunga-bunga. Salah satu teman kami yang bernama Khusnul kebetulan bawa hp waktu itu. Jadi kami sampai sana malah sibuk groufie sampai memori jebol.
Maklum kami ini sebenarnya geng anak rumahan. Jadi bisa keluar sejauh ini senangnya bukan main. Mana tempat tinggal kami juga tidak seindah camp tempat tinggal Sonem. Kami semua norak berjamaah di sana.
Kayaknya waktu itu kami bertujuh mulai melupakan niat awal kami untuk menagih hutang. Sonem menyambut kami seperti biasa. Seperti tak ada masalah apa-apa dan kami juga tidak punya keberanian untuk menggertak teman sendiri. Meminta Sonem membayar hutangnya hari itu juga.
Sebagai gantinya Sonem mempersilakan kami memilih semua bros dan aksesoris cantik miliknya untuk kami bawa pulang secara gratis. Kami semua bersemangat memilih dan sibuk groufie sana-sini karena terkagum-kagum dengan pemandangan komplek camp. Di sana tidak ada momen menegangkan seperti yang kami bayangkan sebelum berangkat. Khusnul bahkan tidak lupa memetik cabai-cabai yang buahnya kemruyuk di depan rumah Sonem.
Tidak terasa jam pulang sekolah normal sudah hampir tiba. Kita harus bergegas pulang supaya tidak ketahuan bolos oleh orang tua. Kami pulang membawa banyak oleh-oleh dan banyak kegembiraan lain karena perjalanan ini malah seperti liburan kelompok daripada perjalanan menagih hutang.
Tidak lupa di perjalanan pulang kami foto di Taman Angsa yang menjadi ikon camp tempat tinggal Sonem. Itu menjadi foto kebanggaan kami bertujuh karena itu foto jalan-jalan pertama geng kami. Jalan-jalan yang sangat seru sekali. Karena berawal dari niat menagih hutang.
Saya masih ingat betul, itu pertama kalinya saya jalan-jalan atau lebih tepatnya konvoi, karena waktu itu kami naik motor, sama teman-teman. Melewati hamparan sawit yang sejuk. Melihat taman-taman bunga yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Dan kami bisa foto-foto dengan cantik di Taman Angsa. Itu jadi kenangan sekolah paling memorable buat saya dan mungkin buat kami bertujuh.
Sampai sekarang, kami selalu ingat momen itu. Momen yang bisa dibilang bolos, tapi bukan bolos. Momen dimana kami menciptakan kenangan yang indah. Bahkan saya sendiri lupa berapa nominal hutang Sonem. Saya juga lupa kapan Sonem bayar hutang itu. Tapi intinya Sonem tidak menyelesaikan bangku SMA-nya. Dia hilang kontak untuk waktu yang lama. Sampai ketika saya baru menikah, saya menemukan akun facebook Sonem. Dan saya sudah melupakan semua kelakuan buruknya.
Boleh jadi Sonem adalah perantara supaya saya dan geng bertamasya menciptakan kenangan tak terlupakan hari itu. Sementara Sonem malah terlupakan oleh kami. Sonem mencuri uang kami, tapi menggantinya dengan kenangan sangat berharga untuk kami.
Artikel ini adalah bagian dari latihan Komunitas LFI supported by BRI
The immature of us 😁😁😁 plesir berkedok nagih hutang
ReplyDelete